Tuesday, 17 March 2009

Tarombo, Simalungun, Purba & Tondang

Menyimak sambutan Ketua Umum Punguan Tondang Boru Pakon Panagolan se-Jabodetabek pada acara Pesta Bona Taon Kemaren bahwa asal kita dari Toba, Saya mencoba mencari Jatidiri saya via Internet yang hasil dituangkan kedalam tulisan wacana dibawah ini.

Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

Purba (Toba) adalah keturunan Toga Simamora. Toga Simamora mempunyai tiga anak. (kadang ada yang menyebutkan empat). Berikut ini adalah keturunan Toga Simamora: 1. Toga Purba 2. Toga Manalu 3. Toga Debata Raja 4. Tuan Sumerham. Catatan: Yang lazim di Toba hanya disebut tiga. Ada versi yang mengatakan Toga Simamora merantau ke daerah Pakkat dan Barus dan mempunyai keturunan di sana yaitu Tuan Sumerham.


Anaknya Purba (menurut Batak Toba) ada 3 (tiga) yakni :

  1. Pantomhobol
  2. Parhorbo
  3. Sigulang Batu

Pantomhobol anaknya ada 3 (tiga) yakni : no.1 Tuan Didolok, no.2 Pargodung dan no.3 Balige Raja
Parhorbo anaknya ada 3 (tiga) yakni : no.1 Parhoda-hoda, no.2 Marsaha Omas dan no.3 Tuan Manorsa
Sigulang Batu anaknya ada 2 (dua) yakni : no.1 Raja Dilangit no.2 Raja Ursa
Ompung Marsahan Omas (dalam bahasa Indonesia berarti Ber-cawan Emas, karena kebiasaannya minum dari cawan Emas) Keturunan Purba Tanjung berasal dari garis keturunan Ompung Marsahan Omas, Purba Tanjung berasal dari Sipinggan, Simpang Haranggaol, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun. Beberapa sumber menyatakan bahwa "Tanjung" pada marga ini berasal dari lokasi kampung Sipinggan yang merupakan sebuah Tanjung di Danau Toba, arah Haranggaol. Marsahaan Omas memiliki keturunan bernama Bongguran yang memiliki kebiasaan "maranggir" (mandi air jeruk purut) di sekitar kampung Nagori, dengan menggunakan cawan emas.Marsahan Omas memiliki 3 keturunan:

  1. Tuan Siborna
  2. Nahoda Raja
  3. Namora Soaloon

Nahoda Raja memiliki anak bernama Raja Omo yang merupakan Purba Tanjung pertama yang bermukim di Sipinggan.
Tuan Manorsa memiliki 5 Keturunan :

  1. Ompung Tarain
  2. Sorta Malela
  3. Soim Bangun
  4. Sombu Raja
  5. Ompung Hinokop

Sejarah mencatat Buku karya A. Purba (Op. Parasian Purba dari Sidikalang) yang mengatakan : Purba Tuan Manorsa menulis dgn jujur bagaimana Tuan Manorsa membunuh istrinya, kabur meninggalkan 3 anak balita, kawin lagi dipelarian, meninggalkan Istri Kedua di Samosir, kawin lagi di Haranggaol. Puluhan tahun anaknya yg di Toba mencari, menapak tilas jejak ayahnya, lalu thn 1930 menemukan akarnya di Perantauan, sejarah mencatat bagaimana isak tangis keturunan yg terpisah ratusan tahun, saling memaafkan kesalahan ayah dan berdoa bersama supaya Tuhan ampuni dosa nenek moyang dan bangkitkan generasi yg takut akan Tuhan.
Tuan Manorsa bukan membunuh istrinya secara langsung, tetapi karena cemburu saat melihat istrinya br Pasaribu sedang mencari kutu paribannya, maka dia memotong payudara istrinya lalu melarikan diri dgn meninggalkan 3 org anak lelaki ( Soimbangon, Sorta Malela, Op Taraim) karena dikejar Raja Pasaribu. Kemudian oppung boru meninggal (mungkin karena infeksi dan hipovolemia/ kurang darah). Dan menetap di Samosir. Kemudian merantau ke Simalungun dan saat pulang ke Samosir menemukan istrinya sdh meninggal. Lalu membawa kedua putranya ke Simalungun dan menikah lagi di Simalungun. kemudian Tuan Manorsa kawin lagi dgn br Tamba dan punya dua anak lelaki (Sombu Raja/Raja Tarbuang & Op Hinokkop),
Ompung Hinokop memiliki 2 Keturunan yakni : Tondang dan Tambun Saribu.

Purba Sigulang Batu anaknya ada 2 (dua) yakni :
1. Partaliganjang(Parlangka Jolo)
2. Guru Sotangguon.
Anaknya Guru Sotangguon ada 2 (dua) yaitu :
1. Somalate
2. Datu Rajim
Anaknya Somalate ada 2 yaitu :
1. Juaro Parultop
2. Datu Parulas
Catatan : Sesuai tarombo, Juaro Parultop dan Datu Parulas merupakan anak kembar (silinduat), makanya kadang Purba yang dari Simalungun yang punya tarombo menuliskannya dengan Datu Parultop/Parulas. Keduanya merupakan orang sakti (datu bolon), mungkin ceritanya agak panjang, tapi dari tarombo yang ada Juaro Parultop memperanakkan : Purba Tambak, Tarigan (di karo), Purba Batu.Datu Parulas memperanakkan : Girsang, Siboro, Purba yang ada di Simalungun.

Purba Pakpak ada si Lima Bapak, yakni : Hinalang, Nagori, Bangun Purba, Purba Tua dan Nagasaribu dan Purba Parhorbo keturunan Manorsa ada yang tinggal di Simalungun. Mereka adalah Purba Tambun Saribu (TAMSAR) dan Purba Tondang. Kuburan Tuan Manorsa juga tetap di Haranggaol , sedang tugunya ada di Simamora Nabolak. Kebanyakan Purba yang di Simalungun hijrah dari Pakpak yakni keturunan Purba Sigulang Batu, dan Tarigan juga berasal dari Purba Sigulangbatu.

Jadi, Submarga Purba terdiri dari banyak sub-marga, antara lain:
1. Girsang
2. Girsang Jabu Bolon
3. Girsang Na Godang
4. Girsang Parhara
5. Girsang Rumah Parik
6. Girsang Bona Gondang
7. Pakpak
8. Raya
9. Siboro
10. Siborom Tanjung
11. Sidasuha
12. Sidadolog
13. Sidagambir
14. Sigumonrong
15. Sihala
16. Silangit
17. Tambak
18. Tambun Saribu
19. Tanjung
20. Tondang
21. Tua dan lain-lain (silahkan ditambah)

Wacana Saya adalah :

Purba Sigulang Batu ini ada yang merantau ke daerah Simalungun dan Karo, maka ada marga Purba Simalungun (contoh: Girsang, Purba Pak-Pak, Purba Sibero, Purba Sigumondrong, dll) dan marga Tarigan (di Karo). Purba Karo beda dengan Purba Toba dan Simalungun, mereka itu masuk Karo-Karo. Yang sama dengan Purba Toba dan Simalungun hanyalah Tarigan.

Mungkin dari sanina marga tarigan atau purba simalungun ada yang bisa jelaskan asal muasal marga Purba dan Tarigan yang ada di simalungun dan karo sekarang. Bila kita coba bandingkan antara marga tarigan dan marga purba di simalungun cabang2nya hampir mirip semua. Contoh : Tarigan Tambak=Purba Tambak; Tarigan Sibero=Purba Siboro; Tarigan Tua=Purba Tua; Tarigan Gerneng=Purba Sigumonrong; Tarigan Silangit=Purba Silangit; Tarigan Tendang=Purba Tondang dll

Ada sosialisasi bahwa Marga Girsang bukan dari Toga Simamora karena Girsang asli dari Lehu Pakpak dan kemudian berafiliasi ke Purba Simalungun agar bisa hidup bahkan menjadi Raja di Silimakuta…(ada ceritanya, baca tentang Pengalihan Kekuasaan dan baca jugaArtikel di Berita Simalungun oleh Pdt. Juandaha Raya Purba dasuha STh dengan Judul "Kalau bukan sama, berarti perkawinan antara marga Purba dengan Girsang bukan hal yg terlarang menurut adat").

Sejarah Tarombo kita jelas, tidak direkayasa, bukti otentiknya masih ada kuburan Raja Purba khususnya Tuan Manorsa di Haranggaol dan di Simamora. itulah sebabnya yg di Toba khususnya masih mengingat baik-baik nomor berapa dia supaya tidak tersesat harus memanggil apa kesaudaranya, jangan sampai manggil anak, padahal oppungnya.

attch 1 :

Tertegun di Kerajaan Purba Simalungun
Posted April 23, 2007
Sampai di mana perkembangan peradaban sebuah komunitas barangkali dapat ditelusuri lewat kebudayaanya. Dan setidaknya hal inilah yang dapat tergambarkan ketika menjelajahi Rumah Bolon di Desa Purba, Kabupaten Simalungun. Ia sekaligus menjadi bukti sejarah eksistensi Kerajaan Purba Simalungun yang sudah berdiri sejak abad ke-15.
Menjelajahi kawasan Simalungun adalah pengalaman tersendiri. Masing-masing bisa memberi kesan tentangnya. Apalagi memasuki Desa Purba, desa kecil di Kecamatan Pematang Purba Kabupaten Simalungun.
Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
Jarakanya kira-kira 140 kilometer dari Kota Medan, setelah melalui Kabupaten Karo (Berastagi – Kabanjahe – Merek). Lalu melewati persimpangan menuju Haranggaol dan tibalah Anda di desa yang mayoritas dihuni etnis Simalungun itu. Tetapi, Anda juga bisa memilih akses lain, yakni dengan melalui Kota Pematang Siantar yang jarakya hanya kira-kira 54 kilometer dari sana.
Konon, dulu Desa Purba dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan kerajaan tertua di Simalungun, yaitu Kerajaan Purba yang hingga akhir kekuasaanya, terhitung ada 14 raja yang pernah memegang tampuk kekuasaannya. Jadi jelaslah bahwa kerajaan ini bukanlah satu-satunya kerajaan yang pernah ada di wilayah Simalungun.
Sejarah mencatat, ada lima kerajaan besar yang masing-masing menguasai wilayahnya sendiri-sendiri yang di antaranya tersebar di beberapa wilayah: Siantar, Panambean, Tanah Jawa, Pematang Raya dan Purba. Wilayah ini kemudian didiami oleh marga-marga tertentu pula, seperti Saragih, Manik, Sinaga dan Purba sendiri.
Rumah Bolon Pematang Purba sendiri merupakan kediaman Raja Purba yang pertama kali diduduki Tuan Pangultop-ultop (1624-1648), yang kemudian diteruskan secara turun-temurun dengan sebuah tradisi budaya setempat. Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
“Tak diketahui siapa pembunuhnya dan apa pula motifnya,” ujar Wanson. penjaga sekaligus pemandu wisatawan, lokasi bangunan tua yang berdiri di atas lahan seluas 1 hektar itu.
Mengenai tradisi pengalihan kekuasaan, Wanson menjelaskan ada semacam tradisi pengalihan kekuasaan yang wajib dilakukan. Ketika raja hendak mewariskan kekuasaannya, diwajibkan untuk menyembelih seekor kerbau, yang lalu tanduknya disimpan agar kelak menjadi bukti untuk raja yang akan berkuasa kemudian. Setidaknya bukti sejarah itu masih dapat terlihat di mana ada 14 tanduk kerbau yang tergantung di dinding ruangan Rumah Bolon.
Lalu, apa dasar pengalihan kekuasaan itu? Seperti lazimnya dalam tradisi kerajaan yang meneruskan kekuasaan pada anak sulung, maka prinsip itu tidaklah mutlak dalam tradisi Kerajaan Purba. “Bukan harus anak sulung, tetapi siapa keturunan yang bagi raja memiliki talenta untuk menjadi pemimpin, maka ialah yang diangkat sebagai penerus kerajaan,” ujar Wanson.
Politik kekuasaan
Sebenarnya, raja yang mula-mula berkuasa di Kerajaan Purba bukanlah Tuan Pangultop-ultop, melainkan Raja Purba Dasuha. Tuan Pangultop-ultop sendiri pada awalnya hanyalah pendatang yang datang dari wilayah Dolok Sanggul yang konon disinyalir berdekatan dengan wilayah Pakpak Bharat sekarang.
Lantas, mengapa ia kemudian menjadi raja? Ini masih berdasarkan penuturan Wanson Purba, yang juga merupakan pegawai dinas pariwisata Kabupaten Simalungun yang dihunjuk untuk mengawasi bangunan tua itu. Ia menjelaskan, kedatangan Tuan Pangultop-ultop ke wilayah Purba awalnya dikarenakan kegemarannya menangkap burung yang kemudian mengantarkannya ke kawasan Purba.
Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan.
Konon, suatu ketika di wilayah hutan belantara Purba, ia berhasil menangkap seekor burung Nanggordaha yang kemudian dari tembolok burung itu (terdapat biji padi dan jagung), ia mendapatkan makanannya sendiri. Ketika ia melihat bahwa Purba adalah negeri yang subur, maka ia pun memohon kepada Raja Purba Dasuha untuk diberikan sebidang tanah. Tanah itu kelak ia tanami dengan biji padi dan jagung yang ia dapat dari tembolok burung itu.
Ini jugalah yang menghantarkan Pangultop-ultop kepada kejayaan. Hasil panen yang melimpah dari sebidang tanah atas kebaikan raja itu, ia simpan di sebuah lumbung besar.
Suatu waktu muncullah masa paceklik yang mengakibatkan penduduk kewalahan mencari makanan. Mengetahui Pangultop-ultop memiliki banyak menyimpan padi dan jagung di lumbungnya, mereka pun lalu memintanya agar memberikan padi dan jagung yang selama itu ia kumpulkan.
Hanya saja, ia tak mau memberi jika mereka hanya memanggilnya dengan sebutan “oppung” (kakek atau orang yang dihormati), melainkan panggilan raja. “Jangan panggil aku oppung jika ingin mendapatkan padi dan jagung dari saya, tapi panggillah saya raja,” katanya.
Mereka pun memanggilnya demikian, yang lantas diketahui oleh Purba Dasuha. Merasa pengakuan terhadap dirinya terancam tidak diakui lagi, maka Purba Dasuha pun mengadakan pertemuan dengan Pangultop-ultop. “Jika kamu memang raja, maka buktikanlah,” katanya, seperti yang ditirukan Wanson.
Hal ini kemudian dituruti Pangultop-ultop dengan mematuhi peraturan yang ditetapkan Purba Dasuha. “Marbijah” (disumpahi) adalah prosesi yang menjadi langkah pembuktian itu. Segenggam tanah, air dan “appang-appang” (kulit kerbau) adalah medianya. Maka, Pangultop-ultop kembali ke tanah asalnya untuk mendapatkan ketiganya.
Segenggam tanah lalu ditabur, dilapisi appang-appang dan di sampingnya ditaruh air yang tertuang dalam tatabu (sejenis tempayan air yang terbuat dari kulit labu). Disaksikan oleh rakyat, lalu Pangultop-ultop bersumpah di hadapan Purba Dasuha dan para ulubalang, katanya, “jika tanah dan air yang aku duduki ini bukanlah milikku, maka sekarang juga aku matilah.” Pangultop-ultop pun kemudian meminun air itu.
Waktulah yang kemudian menjawab sumpah itu. Meski sudah melewati hari, minggu, bulan hingga tahun, namun Pangultop-ultop tidak mati—seperti lazimnya sebuah sumpah yang mengandung kebohongan maka maut adalah imbalannya. Dan waktu jugalah yang menentukan peralihan kekuasaan itu. “Kuakui, sekarang kamulah raja yang pantas memimpin Kerajaan Purba, sebab sumpahmu tak berbala,” kata Purba Dasuha kemudian.
Sejak saat itu Pangultop-ultop resmi diangkat menjadi raja, tepatnya pada 1624, yang lalu memimpin hingga 1648. Sedang raja terdahulu—Purba Dasuha—masih dianggap sebagai raja, hanya saja ia tidak lagi memerintah.
Lalu setelah membalik kembali kisah itu, benarkah ada unsur politis di sana? Sekali lagi ini adalah pengungkapan fakta dari seorang Wanson Purba, yang juga merupakan keturunan Raja Kuraha (panglima raja) Tuan Pangultop-ultop semasa kepemimpinannya. Ia sendiri mengetahui kisah itu dari ayahnya, P Purba yang selama 43 tahun telah menjaga Rumah Bolon.
Wanson pun tak menepis hal itu. “Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan,” katanya. “Pasalnya, tanah dan air serta appang-appang yang digunakan sebagai media sumpah dibawa sendiri olehnya dari tanah asalnya, sehingga memungkinkan ia selamat dari maut.”
Tonggo Simangunsong

attch 2 :

"Kalau bukan sama, berarti perkawinan antara marga Purba dengan Girsang bukan hal yang terlarang menurut adat...!"
Oleh : Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha, STh
Pengantar Asisten Residen Simalungun dalam karya klasiknya, Simeloengoen menulis bahwa pada dasarnya di Simalungun sejak zaman dahulu kala hanya ada empat marga di Simalungun, yakni marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (Sisadapur). Dan memang dari karya-karya klasik penulis-penulis Belanda, baik Tideman maupun Tichelman sebagai pejabat kolonial Belanda selalu menulis Purba Girsang. Yang kita pertanyakan, sejak kapan penulisan dengan "Girsang" tanpa "Purba" itu dimulai?
Asumsi saya berdasarkan perbincangan dengan tokoh-tokoh Simalungun dan para orangtua Simalungun, penulisan marga Girsang tanpa Purba itu masih baru, belum sampai seratus tahun. Pada waktu penulis bertugas di Sekretariat J-100 di Jakarta dalam rangka penulisan sejarah GKPS tahun 2003 kemarin, penulis berbincang-bincang dengan salah seorang tokoh marga Girsang yang dengan marahnya menolak ucapan saya yang mengatakan Girsang itu merupakan sub sib atau cabang dari marga Purba. Beliau dengan marahnya mengatakan, "Girsang adalah Girsang bukan Purba, kami marga Girsang bukan masuk cabang marga Purba tetapi masuk ke cabang marga Sihombing Lumbantoruan."
Dan memang Bapak Brigjend TNI (Purn) Djorali Purba Dasuha sebagai Ketua Umum Harungguan Purba se-Jabotabek menginformasikan kepada penulis bahwa dari 24 cabang marga Purba Simalungun yang mengaku berasal dari Simalungun, marga Girsang akhirnya keluar dari perkumpulan marga Purba Simalungun tersebut karena ngotot tidak mengakui Girsang bercabang dari induk marga Purba Simalungun.
Berangkat dari persoalan di atas, timbul pertanyaan di kalangan kaum muda - kalau benar marga Girsang bukan masuk Purba, berarti marga "Girsang" itu tidak sama dengan Purba, dan karena menurut mereka, Girsang berketurunan dari marga Sihombing Lumbantoruan berarti Girsang merupakan cabang dari marga etnis Batak Toba. Dan jika memang benar bukan cabang dari marga Purba mengingat Hukum Adat Perkawinan Simalungun hanya melarang perkawinan "nasamorga" berarti, karena Girsang dan Purba merupakan dua marga yang berbeda, maka tidak ada larangan lagi menurut adat yang menghalangi perkawianan antara marga Girsang dengan marga Purba, karena yang dilarang menurut adat perkawinan Simalungun adalah kawin semarga karena dianggap masih satu keturunan dari nenek moyang yang sama.
Polemik asal marga Girsang Tideman dalam karya, Simelongoen menuliskan, bahwa Si Girsang yang merupakan leluhur dari raja Silimakuta yang menggantikan mertuanya tuan Nagasaribu bermarga Sinaga berasal dari Lehu Sidikalang Pakpak Dairi. Dari silsilah raja Silimakuta diperkirakan ketibaan Girsang di Naga Mariah diperhitungkan sekiar pertengahan abad XVIII.
Sedang pengangkatan Naga Saribu menjadi kerajaan barulah sejak tahun 1907 dengan nama Kerajaan Silimakuta. Di sini saya kutip uraian Tideman dalam bukunya Simelongoen tentang asal-usul raja Silimakuta : "Raja yang pertama berasal dari Lehu (Sidikalang Pakpak Dairi) bernama Si Girsang. Ketika ia berburu sampailah ia ke Tanduk Banua (Sipiso- piso). Di sana tiba-tiba dijumpainya Horbo Jagat (kerbau bulai) dan menyangka di sekitarnya ada kampung. Ia lalu memanjat pohon tinggi dan melihat vada kampung besar merga Sinaga bernama Naga Mariah. Ia pergi ke sana dan tinggal di situ. Pada suatu ketika Tuhan Naga Mariah. Ia pergi ke sana dan tinggal di situ. Pada suatu ketika, Tuhan Naga Mariah terancam musuh dari Siantar yang sedang berkemah di Paya Siantar dekat kaki Gunung Singgalang. Tuhan Naga Mariah mengharapkan bantuan dari Si Girsang mengusir musuh.
Si Girsang menyuruh penduduk mengumpulkan sebanyak mungkin bermacam- macam duri dan diambilnya cendawan merah, diperasnya dalam air, racunnya diletakkannya pada duri-duri dan diletakkan di sepanjang jalan yang bakal dilalui musuh., sedangkan air yang beracun itu dimasukkannya ke dalam Paya Siantar. Musuh oleh karena itu semuanya mati kena racun. Ia melapor kepada Tuhan Naga Mariah dan berkata, "Nunga mate marsinggalang saribu di dolok i!" (beribu-ribu musuh sudah mati bergelimpangan di gunung itu), sehingga gunung itu dinamakan Dolok Singgalang dan namanya Saribu Dolok.
Si Girsang lalu kawin dengan puteri dari Tuhan Naga Mariah dan karena ahli mencampur racun dinamai Datu Parulas. Setelah raja itu mati maka Datu Parulas ini naik tahta dan mendirikan kampungnya Naga Saribu yang menjadi ibukota. Kerajaannya dinamainya Si Lima Kuta karena dalam kerajaannya ada lima kampung yaitu: Rakutbesi, Dolok Panribuan, Saribu Djandi, Mardingding dan Nagamariah. Setiap puteranya menjadi tuhan di Rakutbesi, Dolok Panribuan, Saribu Djandi, Mardingding dan Naga Mariah. Kemudian lahir lagi dua putera, yang tertua mendirikan kampung Janji Malasang dan mendirikan kerajaan kecil benama Bage. Yang bungsu menggantikan Datu Parulas. Baru di tahun 1903 Kerajaan Bage tunduk di bawah Kerajaan Silimakuta."
Bagaimana dengan Purba Girsang di Dolog Batu Nanggar?
Dari tulisan Tideman tersebut dapat dismpulkan, bahwa Si Girsang tidak diketahu bermarga apa, yang jelas, namanya Si Girsang. Jadi kalau ada kalangan marga Girsang yang mengatakan Girsang bukan cabang dari marga Purba, ini dapat diterima, karena itu adalah hak yang bersangkutan. Namun yang perlu dipertanyakan lagi, menurut Tideman - tentunya ia mencatat informasi dari kalangan raja Silima Kuta - asal dari pemburu Si Girsang dari Lehu di dekat Sidikalang (afkomstig Lehu Pakpak Dairi).
Di sana Tideman menulis "afkomstig" = berasal dari, jadi belum tentu "berketurunan" dari penduduk asli Lehu yang Etnis Pakpak, boleh jadi ia hanya singgah di sana dan seterusnya mengembara ke Simalungun. St. Djaidin Girsang dalam tulisannya tentang "Kisah Si Girsang Parultop- ultop Jadi Raja Silimakuta" (Medan, 1995:123-124) menulis (terjemahan bahasa Simalungun dialek Silimakuta), "Konon menurut cerita turun temurun, kelahiran Si Girsang ditengarai msalah di kalangan orang ramai, ini disebabkan kelahiran Si Girsang yang tidak lazim (marbalutan) tidak seperti biasanya.
Tanggapan khalayak simpang siur dan masing-masing membuat tanggapannya sendiri, ada yang mengatakan "anak panunda" bayi yang baru lahir ini, ada yang mengatakan anak keramat, ada yang mengatakan anak sial dan lain-lain. Demikianlah tanggapan banyak orang, dan ada lagi yang mengatakan, "tidak patut anak ini dibiarkan hidup....; jadi timbullah usul orang ramai agar bayi tersebut dibunuh agar jangan mendatangkan kesialan pada seisi kampung. Ibu Si Girsang adalah perempuan dari Lottung Sinaga, ia sangat masygul melahirkan Si Girsang, jadi disembunyikanlah Si Girsang di luar kampung agar dapat dipantau ibunya siang dan malam, tidak tega hatinya membiarkan anaknya dibunuh...setelah itu dinamailah ia Si Girsang mengingat penderitaannya itu."
Dari beberapa sumber di atas disimpulkan, bahwa bayi yang disembunyikan oleh ibunya itu berasal dari keluarga biasa (rakyat kebanyakan) karena disebut sebagai "penghuni kampung" (berbeda dengan leluhur raja-raja Simalungun yang seluruhnya berasal dari kalangan bangsawan); uraian Djaidin Girsang juga tidak menyebut Si Girsang berketurunan dari kalangan raja. Biasanya panglima-panglima perang (raja goraha) raja Nagur (kerajaan tertua di Sumatera Timur) yang kemudian menjadi raja di Simalungun adalah kawin dengan panakboru (puteri raja) dari raja Nagur bermarga Damanik, seperti raja Tanoh Djawa (Sinaga), Silou (Purba Tambak), Panei (Purba Dasuha), tetapi Si Girsang tidak demikian. Setelah dewasa menurut uraian St. Djaidin Girsang ia kawin dengan puteri Tuhan Naga Mariah bermarga Sinaga yang kemudian "terusir" dari Naga Mariah dan sebagian keturunannya pindah ke Karo (Batu Karang) dan Girsang Sipangan Bolon Parapat. Ini membuktikan kenyataan sejarah kalau Si Girsang adalah pendatang dari luar Simalungun - dan bukan rakyat Nagur pada mulanya. Kerajaan Nagur dengan daerah vasalnya Kerajaan Dolog Silou masih berkuasa atas Purba, Raya dan Nagasaribu, karena status ketiganya adalah "partuanan banggal" Kerajaan Dolog Silou sebelum ditingkatkan menjadi "landschap" pada zaman Belanda sejak 1907 (Korte Verklaring).
Jadi kalau dirunut dari jalan sejarah di atas, keberadaan marga Girsang di Silimahuta (kecuali di partuanan Dolog Batu Nanggar-Panei) Simalungun masih baru; sekitar pertengahan abad XVIII. Dan jika dilihat dari penolakan marga Girsang yang tidak mengakui Girsang merupakan cabang marga Purba (khususnya yang berasal dari Silimakuta), cukup menegaskan kenyataan sejarah kalau Si Girsang yang menurunkan marga Girsang di Silimakuta baru sejak zaman Belanda atau tepatnya pada tahun 1907 berstatus kerajaan di Silimakuta dan bukan seketurunan dengan marga Purba Tambak yang menurunkan raja-raja Silou, Panei dan Dolog Batu Nanggar (Purba Tambak, Purba Sigumonrong, Purba Sidasuha, Purba Sidadolog, Purba Sidagambir, Purba Siboro, Purba Tanjung dan Purba Girsang).
Yang membingungkan lagi dalam Pusataha Parpandanan Na Bolag yang menceritakan sejarah perpecahan Kerajaan Nagur di abad XIV, ada disebut-sebut nama tokoh Si Girsang Doriangin. Demikian pula di sejarah Kerajaan Dolog Silou ada disebut Si Juhar marga Purba Girsang yang menurunkan marga Purba Girsang keturunan Tuan Badja Purba Girsang tuan Dolog Batu Nanggar (Saribulawan). Mengingat marga Girsang di Nagamariah baru ada di pertengahan abad XVIII sedangkan marga Purba Girsang di Dolog Batu Nanggar sudah ada setidaknya di abad XV yang hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Dolog Silou; apakah tidak tertutup kemungkinannya jika Si Girsang yang berangkat dari Lehu menuju Nagamariah adalah cucu buyut dari Tuan Partanja Batu Purba Girsang dari Dolog Batu Nanggar sebagaimana uraian TBA Purba Tambak dalam bukunya Sejarah Simalungun ? Atau alternatif kedua, Si Girsang merupakan "pendatang baru" yang bukan kerketurunan dari Tuan Dolog Batu Nanggar?
Dugaan penulis makin kuat karena pada saat penulis bertugas di GKPS Resort Sumbul, dalam suatu kesempatan hal ini pernah penulis tanyakan kepada serang pengetua adat Pakpak (pertaki) bermarga Solin, pada saat mana sedang gencar-gencarnya pembangunan Tugu Girsang di Lehu. Beliau menjelaskan kepada penulis, bahwa sepengetahuannya, Girsang itu bukan marga Etnis Pakpak, dan tanah lokasi pembangunan tugu itu sendiri bukan tanah adat marga Pakpak, tetapi tanah adat marga Batanghari dari etnis Pakpak yang dibeli oleh marga Girsang dari Saribudolok.
Jadi Girsang bukan "marsanina" dengan Purba?
Meminjam ungkapan budayawan Simalungun Pak Mansen Purba, SH dalam bukunya "Pangarusion pasal Adat Perkawinan Simalungun" yang mengatakan, "seng dong hinan batta Simalungun, parsaninaon halani nasamorga, tapi halani na sahasusuran do. Age pe dos morga, lape tottu ai na sahasusuran. Aima ase dong panggoranion i pudini morga in, tanda ni na sada hasusuran ope." Jelasnya menurut beliau, di Simalungun "marsanina" bukan karena "satu marga" atau dari marga yang sama, tetapi dilihat dari sejarah asal-usulnya. Kalau dari seketurunan nenek moyang yang sama, maka disebut "marsanina" kalau sebaliknya, biar marganya sama, kalau masing-masing tidak mengakui nenek maoyangnya seketurunan, maka jelas bukan "marsanina". Jadi berdasarkan rumusan ini, maka di antara marga Purba yang dapat disebut 'marsanina" adalah keturunan dari raja-raja Silou dan Panei dengan partuanan- partuanannya, seperti Purba Tambak (raja Dolog Silou), Purba Sigumonrong (Tuan Lokkung), Sidasuha (raja Panei), Sidadolog (Tuan Sinaman), Sidagambir (Tuan Raja i Huta), Tanjung (Tuan Tanjung Purba), Siboro (Tuan Siboro) dan Girsang (Tuan Dolog Batu Nanggar). Karena seluruh cabang marga Purba ini menurut Pustaha Bandar Hanopan berasal dari nenek moyang yang sama Tuan Djigou Purba dari Tambak Bawang yang datang dari Gayo (Aceh) atau dari Pagarruyung. Dan kalau raja Silimakuta yang merupakan keturunan dari Si Girsang dari Lehu itu di pertengahan abad ke-18 masuk ke Naga Mariah mengaku bukan bercabang dari marga Purba, kalau demikian ia bukanlah suku Simalungun, karena sejak zaman dahulu suku Simalungun terdiri dari empat cabang marga saja, yakni Sinaga Saragih, Damanik dan Purba.
Dan memang baik Tuan Dolog Batu Nanggar bermarga Purba Girsang dan saninanya raja Panei bermarga Purba Dasuha masing-masing mengambil permaisuri dari puteri raja Siantar bermarga Damanik, sementara kita lihat di Silimakuta permaisuri Silimakuta bukan dari Siantar, tetapi dari Tongging bermarga Munthe. Ini merupakan suatu fakta yang patut dipertimbangkan dalam memutuskan apakah memang Purba Girsang di Silimakuta dan Dolog Batu Nanggar itu dari keturunan nenek moyang yang samakah atau berbeda?
Penutup Penulis memang sadar kalau tulisan ini akan menimbulkan kontroversial di kalangan etnis Simalungun, khususya di kalangan marga Girsang dan Purba Simalungun. Tetapi mengingat falsafah etnik Simalungun "Habonaron do Bona" ini layak untuk dituntaskan oleh pengetua adat Simalungun. Jangan sampai akibat pengakuan marga Girsang ini menyebabkan kegalauan di kalangan generasi muda Simalungun. Dan kalau memang Girsang tetap ngotot tidak mengakui dirinya bercabang dari marga induk Purba Simalungun, agar kelar dan tidak menimbulkan kesimpang siuran di tengah-tengah masyarakat, alangkah bijaknya, apabila hal ini dibahas dengan melibatkan para sejarawan, apakah benar "Girsang bukan cabang dari marga Purba?" Kalau memang benar, sepantasnyalah diumumkan dan disosialisasikan kepada masyarakat luas, sehingga perkawinan antara marga Purba dengan Girsang bukan lagi sesuatu hal yang terlarang menurut adat Simalungun. Karena yang dilarang menurut adat adalah "mardawan begu" atau saling kawin mawin dengan pasangan yang semarga. Sehingga kedudukan marga Girsang di Simalungun jelas, dan para kaum muda yang ingin mencari pasangan hidupnya juga tidak ragu-ragu. Semoga bermanfaat.
Penulis adalah seorang pendeta GKPS bermarga Purba tinggal di Tepian Danau Toba Tongging-Taneh Karo Simalem

Thursday, 12 March 2009

Siapa Tondang ini....????

Pertanyaan tsb ditujukan kepada Warga Tondang di Acara Pesta Bona Taon Tondang Boru Pakon Panagolan, apakah kalian mengenal saya yang berdiri di depan ini.....????, Jawablah yang Jujur...!!!!!. Dari Hadirin hanya sekitar 15 orang yg menunjuk tangan. Padahal yg berdiri tsb adalah Jonni Tondang, salah satu Pengurus yang menjabat Ketua1 di Pengurus Tumpuan Pomparani Tondang Boru Pakon Panagolan se-Jabodetabek dan juga merangkap Ketua Panitia Pesta Bona Taon ini.

Dari Panagolan Tondang yang diwakili oleh : J. Manihuruk mengatakan : "Saya mengucapkan Terima kasih kepada Yth Semua Pengurus yang membuat acara ini dan kami semakin tambahlah Tulang Kami, Oppung Kami dan sebagainya. Sesuai dengan tema Pesta kita ini dan sebagai ilustrasi Kita ibaratkan Pohon, Batangnya adalah Tondang itu sendiri dan Ranting-rantingnyalah Kami Boru dohot Panagolan, Jadi kalau Kita tidak bersama-sama Pohon tsb tidak akan berbuah. Dan akarnya Saya umpamakan Firman Tuhan, maka Firman Tuhan tsb Kita serap maka Damai Sejahteralah Tondang Boru Pakon Panagolan yg kita cintai ini.

Pembicara selanjutnya sebagai kata sambutan dari Boru yang diwakili oleh Leopold Pasaribu dengan memperkenalkan diri mengatakan Saya sebagai pengurus Periode yg lalu sangat terkesan barulah 14 tahun baru dapat kepengurusan yang lalu baru sekarang, Kepengurusan ini saya lihat sangat baik dan telah diuji dengan kegiatan suka duka dan dapat berjalan dengan baik dan ini patut kita acungkan jempol dengan mengatakan "Tondang .....Yesss...!!!!.
Kepengurusan yang baru ini berupaya mengumpulkan saudra-saudara kita dalam Pesta Bona Taon ini, ternyata cukup banyak saudra-saudara kita yang Kita abaikan. kalau kita mengadakan Pesta sangat sulit sekali mengumpulkan saudara-saudara kita, kalau tidak ada organisasi dan dengan wadah ini Kepada semua pengurus kami panjatkan doa agar semua pengurus ini diberkati Tuhan diberikan suka duka yang baik diberi kemampuan menghadapi pekerjaan sehari-hari.
Sebagai review sewaktu saya jadi pengurus periode yang lalu, Ketuanya meninggal, Kita tidak ada yang tahu dan sampai dimakamkan juga kita tidak tahu juga tidak ada pangapohon ke situ, sangat prihatin sekali, inilah pengalaman kita sebagai pengurus lama agar jangan terjadi lagi kedepan, kemungkinan dulu kita salah pilih sehingga mengalami proses yang kurang baik. saya berharap Kepengurusan yang baru ini dapat berjalan dengan baik untuk satu periode kedepan, Mudah-mudahan Tondang Boru dan Panagolan dapat duduk bersama sehingga saling memberikan hatinya terhadap kepengurusan ini dapat berjalan dengan baik
(....bersambung.....)


Wednesday, 11 March 2009

Pesta Bona Taon Tondang

Dihadiri oleh 600 tempat duduk penuh warga Tondang se-Jabodetabek Acara Pesta Bona Taon Tondang Boru Pakon Panagolan yg diseleggarakan di Gedung Dharmagati-Pusdikkes Jalan Raya Bogor No. 2 Kramat Jati Jakarta Timur Pada Tanggal 09 Maret 2009, dengan Tema : "Alangkah baik dan indahnya diam bersama dengan Tuhan sebab kesanalah Tuhan memerintahkan berkatnya" (Maz 133) dan Sub Tema : "Parbuahkon hita ma horja na madear marhitei Jesus panondang ni dunia on", yang dimulai jam 09.00 WIB pagi dngan Acara Kebaktian yang dipimpin oleh Pdt. Ennida Girsang dari GKPS Cikoko Jakarta.

Kebaktian dimulai dengan mandoding Haleluya no. 450 yaitu Lagu Rakyat Simalungun yang berjudul : Ija Juma Tidahan (Sihol do uhur nami Tuhan, Pajumpah bohi pakon ni Ham, Sai roh ma Ham sonari Tuhan, podahi Ham hanami. Ai Ham do namargogoh tongon, lao patorsahon hanami on, Sai roh ma Ham Sonari Tuham, Podahi Ham Hanami), juga ditampikan Koor dari Paduan Suara Tondang Boru dan Panagolan. Acara kebaktian akhirnya ditutup dengan Doa Penutup dan Berkat dari Pdt Ennida Girsang.

Dilanjutkan dengan Acara Selanjutnya dengan Masuk Para Pengurus Tondang Boru Pakon Panagolan kedalam Gedung yang diiringi oleh Musik dan Tarian Simalungun yang dibawakan oleh Putri-putri naposo bulung dan Pembukaan acara oleh sdr. Mangiring Tondang sebagai Ketua Umum Punguan Tondang Boru Pakon Panagolan dan Dilanjutkan sambutan-sambutan dari : Ketua Panitia Pesta Bona Taon (sdr. Jonni Tondang, Perwakilan dari Panagolan (sdr. J. Manihuruk), Perwakilan dari Boru (sdr. Leopold Pasaribu), Perwakilan dari Suhut (Bapatua kami/Oppung Kami sdr. Yosia Tondang), Juga Caleg yang bermarga Tondang (Daniel Purba Tondang SH) dan Juga sambutan dari Ketua Umum Punguan Tondang Boru Pakon Panagolan (sdr. Mangiring Tondang).

Acara selanjutnya diisi dengan Manortor antara Panitia dan Pengurus, Panagolan dengan Pengurus, Boru dan Tondang dari Perwakilan Tangerang dan Tondang se-Jabodetabekdengan borunya, juga ditampilkan Tarian anak-anak sambil disawer oleh suhut Tondang dan dilanjutkan makan siang diselingi doorprice berupa 2 buah HP yang sudah disediakan Panitia, juga Pembagian Hadiah untuk anak-anak yang disediakan dari Yayasan Pondok Doa yang berpusat di Surabaya tempat saudara kita yakni nyonya Tampubolon Nelsi boru Tondang bekerja, dimana hadiah tersebut dikategorikan berdasarkan Umur 0 - 5 tahun, 6-10 tahun dan 11 - 14 tahun juga dibedakan hadiah untuk boy dan girl. Pokoknya kami senang semua.....!!!!.

Tuesday, 10 March 2009

Ulos sian Punguan Tondang Boru Pakon Panagolan se-Jabodetabek










Arsip : Tondang Sibidik Sihalpe, Penyelamat Lingkungan 2003

Kelompok Marga TONDANG SIBIDIK, Desa Hinalang dan Sihalpe, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara meraih Penghargaan Kalpataru untuk Penyelamat Lingkungan Tahun 2003. Tondang Sibidik merupakan salah satu kelompok marga Tondang yang berasal dari Sibidik, Desa Sihalkpe. Kelompok ini memiliki hutan marga warisan leluhur Oppu Hilang Parhabonaron. Kegiatan yang dilakukan adalah pelestarian hutan marga pada dua kawasan hutan marga, yaitu hutan Harangan Pulo-pulo dan Harangan Sibadar yang luasnya sekitar 60 ha. Terlestarikannya hutan marga ini ternyata dapat menyelamatkan sumber mata air yang bermanfaat untuk pertanian, konsumsi penduduk dan untuk pasokan air untuk danau Toba.

Sebanyak 11 orang/ kelompok penerima Kalpataru dari Propinsi Sumatera Utara, masing-masing: James Sipayung, Pelpem GKPS, Pelpem GBKP, Rusdy Harianja, Jaholong Munthe, Kuat Sudarta, Agung Sugiarta, Drs. Ngangkat Tarigan, Kelompok Marga Tondang Sibidik, Paris Sembing, dan Marandus Sirait. Para penerima anugerah Kalpataru ini adalah pahlawan lingkungan yang benar-benar telah melakukan sesuatu yang nyata (bukan wacana) guna mempertahankan, meningkatkan dan memulihkan kualitas lingkungan maupun kualitas sosial sekitarnya. Prestasi mereka tidak diragukan, sehingga sangat tepat jika mereka adalah pendamping, narasumber, pelatih penyuluh dan kader lingkungan yang baik. Sebelum pengukuhan kader lingkungan, sebanyak 10 orang tokoh adat yang juga petani, menyampaikan pernyataan sikap sebanyak 5 butir, antara lain berjuang mempertahankan keles­tarian Danau Toba melalui mekanisme lokal, hukum dan demokrasi, serta gerakan penanaman pohon. Kegiatan ini dilanjutkan dengan pelatihan penguatan kapasitas kader dengan melibatkan seluruh penerima Kalpataru sebagai nara sumber.

Thursday, 5 March 2009

TONGGING


Tongging sudah menyaingi pasar Haranggaol dari transaksi maupun jumlah pengunjung. Pasar Tongging setiap Jumat.














HARANGGAOL

Haranggaol, begitulah namanya sering disingkat. Nama lengkapnya Haranggaol Horisan. Dulu, sempat menjadi daerah tujuan wisata turis domestik. Tapi belakangan, nama itu semakin tenggelam, kalah bersaing dengan Parapat.

Dari Kota Pematangsiantar menuju Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun, Sabtu (24/5) pukul 15.30 WIB, METRO memilih naik kendaraan umum. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam 30 menit. Satu jam dari Siantar hingga Simpang Haranggaol dengan ongkos Rp10 ribu per orang, dan 30 menit dari Simpang Haranggal hingga Haranggaol dengan ongkos Rp5.000 (tarif sebelum harga BBM naik).

Udara sejuk segar mirip sejuknya udara Kota Berastagi menyambut METRO, begitu angkutan memasuki Raya, ibukota Simalungun (de jure). Sepanjang perjalanan, ladang-ladang pertanian nan menghijau tampak elok dipandang. Deretan tanaman cabai, kopi, jagung, kol, tomat, kacang panjang, dan lainnya di sepanjang jalan dari Raya menuju Haranggaol, sungguh menyejukkan mata.

Sayang, kenyamanan sedikit terganggu oleh kondisi prasarana jalan yang menggerundul-gerundul di sejumlah titik. Kalau tak hati-hati, kepala bisa kejedut atap kendaraan yang kadang terbanting-banting di jalanan berlubang. ”Seandainya Pemkab memberi perhatian membenahi kondisi jalan, alangkah baiknya,” celetuk seorang teman yang ikut dalam perjalanan.

Saat tiba di Simpang Haranggaol, jam sudah menujukkan pukul 16.30 WIB. Di simpang itu, harus bertukar angkutan. Di sini, pengunjung bisa menunggu 30 menit lebih sebelum bus berangkat. Soalnya harus menunggu sampai bus penuh, sementara penumpang jarang-jarang.

Dari Simpang Haranggaol menuju Haranggaol Horisan, suhu udara semakin dingin. Maklum, posisi saat itu berada di puncak pebukitan Bukit Barisan menuju ke Danau Toba. Jalanan berkelok-kelok, terkadang mulus terkadang berlubang. Sekitar 15 menit setelah kendaraan melaju dari simpang Haranggaol, hamparan luas Danau Toba mulai terlihat dari puncak. Bukit-bukit mengepung dari kiri kanan. Deretan rumah-rumah di dataran pinggiran danau yang dihuni sekira 1.400-an KK itu, tampak indah.

Semakin menurun, ladang-ladang menghijau menyambut. Ada tanaman kol, sawi pahit, tomat, cabai, kopi, bawang, mangga yang sudah berbuah, dan tanaman lainnya.

Tiba di Haranggaol Horisan, METRO turun dari angkutan. St W Sinaga, seorang tokoh masyarakat, dalam bincang-bincang dengan METRO mengatakan, Haranggaol sebenarnya memiliki potensi besar menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Simalungun, bahkan Sumatera Utara.

”Yang pertama harus dibenahi adalah perbaikan prasarana jalan menuju ke Haranggaol. Selain itu, perlu dibuka jalan tembus Haranggaol-Tiga Ras dan Haranggaol-Tongging. Sebenarnya jalan ke sana sudah pernah dibuka, tetapi karena tak diaspal akhirnya tertutup lagi. Padahal dengan adanya jalan tembus ini, pariwisata di Haranggaol bisa terangkat, dengan semakin pendeknya jarak tempuh ke Parapat,” jelasnya, sembari menunjukkan jalan tembus yang fisiknya masih bisa terlihat di pebukitan.

Jika prasarana jalan sudah relatif mulus, wisatawan domestik menurutnya akan lebih tertarik datang.

Keramba Ikan

Mengenai Keramba Jala Apung (KJA) yang memenuhi permukaan Danau Toba di perairan Haranggaol, yang disebut-sebut mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Haranggaol, menurut St W Manik, jangan sampai dihilangkan. Karena keberadaan keramba menyangkut sumber penghasilan warga setempat. ”Hanya saja, untuk mendukung pariwisata di Haranggaol, sebaiknya pemerintah melakukan penataan keramba dengan membuatkan zona khusus,” cetusnya.

Zona khusus yang dimaksudkannya adalah dengan menetapkan lokasi khusus untuk keramba ikan. Di luar zona dimaksud, tak boleh ada keramba, khususnya di zona yang diperuntukkan untuk wisata.

Keramba ikan, jelasnya, sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai objek wisata tersendiri. Caranya, pemerintah membangun semacam jembatan apung di atas permukaan Danau Toba yang memisahkan zona keramba dengan zona wisata. Di atas jembatan itu, pengunjung bisa jalan-jalan, sambil melihat-lihat ikan yang dipelihara di atas keramba. Jembatan apung ini sekaligus memperlihatkan kepada pengunjung, bahwa perairan untuk wisata dan untuk keramba dipisahkan dengan baik. ”Untuk pembuatan jembatan itu, tentu harus ada inisiatif Pemkab. Asalkan Pemkab mau berbuat, pasti bisa,” tandasnya.

Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Haranggaol Horisan, SH Nababan, yang ditemui METRO di sana, menjelaskan mengenai sistem zonasi ini. Menurutnya, pemerintah sebenarnya telah pernah menetapkan zonasi keramba ikan di Haranggaol, yakni di daerah Rappa dan Tuktuk Sipalu. Sementara zona wisata di Tangga Batu. ”Tetapi kondisi alam di lokasi itu kurang mendukung untuk keramba ikan, karena arus ombak yang cukup kuat dari Tao Silalahi, cukup mengganggu perikanan keramba. Selain itu, meski petani mengakui kalau ikan lebih sehat jika keramba jauh dari pantai, namun persoalan pencurian ikan menjadi masalah sendiri. Karena semakin jauh keramba ke tengah danau, pengamanan semakin sulit dilakukan. Akhirnya, petani kembali menarik keramba ke daerah pantai,” jelasnya.

Hal-hal inilah yang menyebabkan penataan keramba di Haranggaol agak sulit dilakukan. Apalagi, lanjutnya, Pemkab belum memberikan perhatian penuh untuk menata Haranggaol sebagai daerah tujuan wisata. ”Bupati sudah pernah menyatakan bersedia mengucurkan dana Rp1 miliar untuk membenahi Haranggaol. Tetapi syaratnya, masyarakat harus mau ditata,” cetusnya.

Penataan masyarakat inilah, yang menurutnya sampai saat ini belum berjalan dengan baik. Meski telah dilakukan sosialisasi beberapa kali, masih ada beberapa kendala di lapangan.

Ditanya tentang fasilitas pendukung pariwisata di Haranggaol, Sekcam menjelaskan, saat ini ada 5 hotel/penginapan. Yakni Hotel Sigumba-gumba sekitar 40-an kamar, Tuhulan 5 kamar, Naga Murni 3 kamar, Amdito 6 kamar, dan Horisan 14 kamar. Tarif per kamar per malam rata-rata Rp75.000 ribu.

Adapun fasilitas wisata yang bisa dinikmati di Haranggaol, selain pemandangan Danau Toba, juga wisata air naik speedboat dan sampan kecil, serta ban-ban untuk mandi-mandi. ”Oleh-oleh khas dari Haranggaol ini ya ikanlah…. atau mangga kalau lagi musim seperti sekarang,” jelas Sinaga.

Pasanggarahan Telantar

Kurangnya perhatian pemerintah memoles Haranggaol, dibuktikan St W Sinaga dengan menunjukkan Mess/Pasanggarahan Haranggaol milik Pemprovsu, yang sudah bertahun-tahun telantar.

”Lihat saja, milik pemerintah sendiri pun dilupakan dan ditelantarkan, tak dirawat, tak dikunjungi. Konon pula berharap pemerintah membenahi Haranggaol secara keseluruhan,” kata Sinaga sembari membawa METRO ke lokasi mess.

Pantauan METRO, mess yang dicat putih itu tampak tertutup. Atapnya sudah mulai aus. Tangga batu di depan mess juga sudah pecah dan berlumut. Kesan tidak terawat sangat terlihat. Pantai di bawah mess diselimuti sejumlah sampah.

Menurut Sinaga, mess itu sebenarnya ada penjaganya. Tapi diduga karena Pemprovsu sendiri tidak peduli, mess pun tidak terawat sebagaimana diharapkan. ”Tahun 60-an, saya masih ingat mess ini sering dikunjungi orang bule. Mereka sering beri permen pada anak-anak. Tapi lihatlah sekarang, sudah bertahun-tahun seakan tak ada pemilik,” cetusnya.

Warga Haranggaol lainnya, Jawakim Purba (48), kepada METRO mengatakan, jika ingin menghidupkan pariwisata di Haranggaol, pengelolaan wisata harus profesional. ”Pariwisata domestik, Haranggaol ada potensi. Pariwisata internasional, Haranggaol bisa dipotensikan. Tergantung pengelolaannya,” kata dia.

Menurut dia, pariwisata di Haranggaol bisa dijual jika dipadukan dengan Parapat, Samosir (Tomok, Ambarita), dan klain-lain. Misalnya, kalau mau ke Parapat atau Samosir, turis bisa dikondisikan lewat Haranggaol dulu. Sehingga Haranggaol dapat imbas dari kunjungan turis yang lewat. ”Konsepnya pariwisata terpadu. Untuk itu, perbaiki infrastruktur. Jalan tembus Haranggaol-Paraopat harus dibenahi. Jalur Haranggaol-Tongging yang sempat dimulai, juga harus diteruskan sampai selesai, sehingga waktu dan jarak tempuh semakin pendek. Selain itu, harus ada penyedia fasilitas pendukung wisata di Haranggaol. Kalau hanya menjual keindahan panorama Danau Toba, itu tak cukup,” cetusnya.

Ia berharap, wisata di Haranggaol bisa kembali bergeliat, meski diakuinya tak semudah membalik telapak tangan. ”Asalkan ada penataan secara profesional, pasti bisa,” cetusnya.

Jalan

Kondisi ruas jalan menuju obyek Wisata Haranggaol sepanjang 4 km dari simpang Haranggaol ke Kecamatan Haranggaol Horisan mulai rusak pada bagian badan jalan. Kondisi ini jika dibiarkan terus tanpa adanya perbaikan dari Pemkab Simalungun dikuatirkan kerusakan akan semakin parah.

Demikian keprihatinan tokoh masyarakat St Belson Purba yang juga Ketua PAC Partai Demokrat Kecamatan Haranggaol Horisan melihat kondisi jalan sebagai sarana tranportasi mulai mengalami kerusakan. Ditambahkan dengan kondisi jalan yang berliku dengan hiasan dinding dan jurang terjal di kanan kiri jalan sewaktu-waktu membahayakan kendaraan yang melintas.Dikatakan sejak terjadi kerusakan dan belum juga mendapatkan perhatian pemerintah, masyarakat harus menanggung biaya transportasi yang lebih tinggi dari tarif biasanya. Sebagai daerah sentra pertanian Hortikultura dan perikanan tentunya kondisi ini akan mempengaruhi biaya pengiriman hasil pertanian dan perikanan yang berdampak kepada turunnya pendapatan masyarakat.

Diharapkan pemerintah serius menanggapi keluhan masyarakat dengan segera memperbaiki kondisi jalan yang mulai rusak dan di beberapa titik juga rawan longsor. Kami masyarakat juga heran dengan kualitas pembangunan jalan yang baru beberapa bulan diperbaiki sudah hancur dan rusak. Seharusnya pelaksanaan pembangunan dilakukan pengawasan yang ketat sehingga anggaran pembangunan tidak terlalu banyak yang menguap untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, ujarnya yang juga sebagai petani itu.

Kembalikan Haranggaol sebagai Sentra Produksi Bawang

Haranggaol pernah menjadi sentra produksi bawang di Sumut, di samping Samosir dan Muara. Tapi sejak hama yang menyerang tanaman bawang 2002, petani beralih ke keramba ikan. Padahal, bawang dianggap paling cocok dengan alam dan kultur setempat.

“Bisa dikatakan, saya disekolahkan dari hasil bawang,” kata St W Sinaga. Hal senada juga disampaikan Belson Purba (52) dan Jawakim Purba (48), warga Haranggaol Horisan. ”Rata-rata warga Haranggaol disekolahkan dari hasil bawang,” kata mereka, kompak.

Di bawah tahun 2000-an, Haranggaol termasuk sentra produksi bawang di Sumatera, bersama Samosir, Muara, Bakkara, dan lainnya. Tahun 70-an, 80-an, 90-an, kapal-kapal dari Samosir rutin datang ke Haranggaol, membawa komoditi pertanian khususnya bawang untuk dijual di sana. Agen-agen dari Medan pun datang ke Haranggaol untuk membeli bawang. Masa-masa itu merupakan masa-masa keemasan Haranggaol. Ada dua pekan besar tiap minggu, yakni Senin dan Kamis. Pekan Senin merupakan yang terbesar, disusul Pekan Kamis di posisi dua.

”Tapi sekarang, keramaian pada Pekan Senin itu bahkan tak lagi sampai setengahnya dari Pekan Kamis yang dulu. Bayangkan saja, betapa anjloknya suasana keramaian sekarang dibanding dulu,” kata Jawakim Purba.

Belson Purba menambahkan, warga Haranggaol mayoritas berpenghasilan dari sektor agraris. Petani keramba ikan paling hanya 15 persen dan PNS 1 persen. Selebihnya petani. Dan pertanian yang paling menonjol, dulunya adalah bawang. Bawang merupakan komoditas utama dan unggulan dari daerah itu. ”Bawang merupakan tanaman yang paling cocok dengan kondisi alam di Haranggaol. Tanah-tanah pertanian di daerah ini cenderung berbukit-bukit dan berbatu-batu. Ladang paling luas dalam satu dataran paling jago 5-6 rante. Selebihnya bertangga-tangga. Melihat kondisi alam itu, bawang merupakan tanaman paling cocok,” jelas Jawakim.

Selain dari struktur tanah, dilihat dari umur, bawang juga paling enak ditanam. Hanya 65 hari sudah bisa dipanen. Bandingkan dengan jagung yang butuh waktu 90 hari. Belum lagi dilihat dari harga, jelas bawang lebih mahal dibanding jagung. Tambahan lainnya, modal menanam dan merawat tanaman bawang relatif lebih murah. Dan secara kultur, masyarakat Haranggaol sudah mengenal dan berpengalaman bertanam bawang. ”Asalkan pintar mengolah tanah, mengatur rotasi tanaman, hasil bawang cukup memadai sebagai sumber penghasilan,” tambah Belson.

Hilangnya julukan sebagai sentra produksi bawang dari ’tangan’ Haranggaol, terjadi pascaserangan hama yang menyerang tanaman bawang pada 2002. Sejak itu, warga setempat jadi malas bertanam bawang, dan beralih menjadi petani keramba ikan.

Hasil dari keramba ikan sempat pula mencapai masa keemasan. Sayang, serangan Koi Herves Virus (KHV) yang menyerang ikan mas di keramba-keramba milik warga pada tahun 2004, mengakibatkan kerugian puluhan miliar. Modal-modal petani pemula amblas. Hal ini sempat melemahkan semangat warga untuk bertani ikan. ”Sementara untuk kembali menanam bawang, warga juga tidak bersemangat karena harga bawang sempat jatuh menyusul masuknya bawang-bawang impor dari Thailand, Philippina, dan Bombay,” jelas Belson.

Untunglah, untuk saat ini dan tahun-tahun ke depan, ada angin segar yang berembus ke petani bawang. Ada kabar, pemerintah melarang impor limbah daun bawang ke Indonesia. Kebijakan ini ditengarai akan memperbaiki harga bawang dalam negeri, karena harga bawang lokal dan bawang impor tentu akan bersaing.

”Selama ini, bawang-bawang luar negeri ’kan diimpor bersama daun-daunnya langsung dari petani di sana. Selama di kapal dan di gudang para importir, bawang dikipas agar tak busuk. Bawang-bawang itu bisa dijual murah di Indonesia karena tak ada biaya untuk upah pekerja memotong daun bawang, menjemur, dan sebagainya. Tetapi dengan adanya larangan impor limbah daun bawang, tentu importir harus mengeluarkan upah untuk pekerja memotong daun bawang. Nah, di Indonesia harganya tentu akan lebih mahal. Imbasnya, bawang lokal bisa bersaing. Dengan adanya angin segar tadi, kita berharap Haranggaol bisa kembali bangkit sebagai sentra produksi bawang,” harap Belson.

Untuk mendukung hal itu, Belson berharap Pemkab Simalungun memberikan dukungan dengan mendatangkan bibit unggul, kalau boleh dari Philippina. Karena bibit unggul dari negara itu dipercaya bisa menghasilkan produksi bawang lebih banyak dibanding bibit lokal. ”Dari satu hektare, bibit bawang Philippina bisa menghasilkan 15 ton bawang. Kalau bibit lokal, hanya 1 ton saja. Kalau Pemkab mau dan perlu agunan untuk penyediaan bibit luar negeri ini, petani siap mendukung,” cetusnya.

Bersamaan dengan dukungan penyediaan bibit ini, Pemkab melalui Dinas Pertanian juga diharapkan proaktif memberikan penyuluhan kepada petani. Misalnya, menyosialisasikan harga-harga di pasar, kapan sebaiknya bertanam, pemakaian pupuk dan pestisida yang tepat, dan sebagainya. Pemkab juga diharapkan memfasilitasi pupuk bersubsidi ke Haranggaol.

Melihat potensi harga bawang saat ini, Belson mengharapkan agar Pemkab benar-benar memberikan dukungan. Dan masyarakat pun diharapkan kembali antusias bertanam bawang, sehingga julukan Haranggaol sebagai sentra produksi bawang bisa kembali diraih. Untung juga bisa dinikmati.

Pasok 15 Ton Ikan per Hari

Di samping pertanian, khususnya tanaman bawang, Haranggaol juga sejak 5 tahun terakhir terkenal sebagai pemasok ikan nila dan ikan mas ke pasaran di Sumatera Utara. Ditengarai, dari ratusan keramba yang saat ini menyelimuti perairan Danau Toba di Haranggaol, setiap hari sekitar 15 ton ikan, baik nila maupun mas, dipasok ke pasaran Sumut.

Harga ikan nila di tingkat petani saat ini Rp15 ribu per kg ukuran standar, dan mas Rp22-25 ribu per kg, tergantung besar ikannya. Ikan merupakan salah satu sumber penghasilan utama di Haranggaol saat ini.

Namun belakangan, petani agak resah dengan kenaikan harga pellet ikan, yang dalam dua bulan terakhir naik dari Rp205 ribu per zak ukuran 50 kg, menjadi Rp297 per zak. Harga itu sebelum harga BBM naik. ”Dan dengan naiknya harga BBM hingga 28 persen, kami menduga harga pellet akan naik lagi. Sementara harga ikan belum tentu naik di pasaran. Inilah yang meresahkan petani,” kata Jawakim, yang juga petani keramba ikan di Haranggaol.

Jawakim memperkirakan, setiap hari petani keramba ikan di Haranggaol membutuhkan 16 ton pellet untuk memberi makan ikannya. ”Untuk itu, kita berharap Pemkab dapat memberi dukungan, misalnya dengan membangun pabrik pellet berbahan baku lokal, yang harganya masih bisa dijangkau petani. Karena kalau begini terus, keuntungan dari petani ikan akan anjlok drastis,” harapnya. (habis)

INDAHNYA PANORAMA ALAM HARANGGAOL

Kota Haranggaol merupakan salah satu tujuan wisata di wilayah Kabupaten Simalungun-Sumatera Utara. Pada awal sekitar tahun 60-an hingga akhir tahun 70, daerah ini sangat ramai dikunjungi para wisatawan dalam negeri maupun manca negara.

Pada kurun waktu itu Pemda Simalungun sempat menikmati pemasukan retribusi wisatawan yang cukup menggembirakan. Bukan itu saja, bahkan masyarakat kota Haranggaol dan sekitarnyapun turut serta menikmatinya, dimana restoran atau kedai yang ada di daerah itu banyak dikunjungi wisatawan. Ditambah lagi dari hasil kebun seperti jeruk, mangga dan pisangpun laku.keras. Tentunya kunjungan wisata ini berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di kota Haranggaol dan sekitarnya. Dan untuk memenuhi biaya hidup masyarakat sehari-hari dan untuk membiayai pendidikan anak-anaknyapun tidak jadi soal pada waktu itu. Namun, mulai awal tahun 80-an, arus wisatawan yang berkunjung ke kota Haranggaol mulai menurun. Dan sekarang daerah Haranggaol seolah sudah dilupakan oleh wisatawan.

Kondisi ekonomi rakyat di Kecamatan Haranggaol saat ini sangat mengerikan. Bahkan meliputi seluruh pesisir horinon ini. Hasil panen bawang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanaman padi pun hampir tidak keliatan lagi karena mahalnya harga pupuk dan biaya produksi terus meningkat. Hasil panen juga tidak begitu menjanjikan karena kondisi tanah sawah dan ladang sudah semakin terkikis menjadi gersang. Ini disebabkan tekanan ekonomi yang sangat berat, sehingga sawah ladang mereka olah terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari hasil tanaman bawang dan padi.

Saat ini panorama teluk Haranggaol sudah dihiasi dengan karamba (pembudidayaan ikan Nila dan ikan Mas). Hampir sepertiga teluk itu telah dipenuhi oleh karamba dan penempatannya pun tidak teratur. Hal ini mengakibatkan panorama pantai Haranggaol sebagai tujuan wisata yang indah menjadi rusak dipandang mata para wisatawan.

Nampaknya sulit untuk melarangnya. Saat ini tumpuan harapan sebagian masyarakat Haranggaol adalah bertani ikan di danau itu. Lumayan, harga ikan nampaknya agak stabil. Terus, bagaimana mereka yang tidak mempunyai modal? Tidak ada pilihan lain kecuali bertani mengolah sawah dan ladangnya. Celakanya, kalaupun hasilnya bagus, harganya murah. Pada saat harganya mahal, hasil panennya tidak begitu baik.

Kota wisata Haranggaol tidak jauh berbeda dengan Kota Parapat. Keduanya merupakan ibukota kecamatan. Keindahan panoramanya juga tidak jauh berbeda, karena sama-sama terletak di pinggir Danau Toba. Yang membedakan adalah bahwa Kota Parapat banyak dilintasi oleh kendaraan umum, baik angkutan antar propinsi maupun antar kota, dan sarana penunjang kepariwisataan lainnya tersedia di kota Parapat. Jalan raya dan sarana kepariwisataan di kota ini cukup baik dan memadai. Beda dengan Kota wisata Haranggaol, tidak memiliki sarana pariwisata yang memadai juga prasarana jalan rayanya sangat memprihatikan, sehingga mengurungkan minat para wisatawan berkunjung ke kota ini.

Semenjak Bapak Brigjen Radjamin Purba, SH (Alm.) menjabat sebagai Bupati Simalungun, jalan raya dari arah kota Seribudolok ke kota Haranggaol sangat bagus-mulus. Bukan hanya itu, pembangunan jalan yang menghubungkan kota Haranggaol dengan kota Parapatpun sudah berjalan hampir sampai Desa Tigaras. Meskipun badan jalan itu masih dalam konstruksi batu dan selokan pinggir jalan juga belum dibeton. Dan hingga saat ini, jalan tersebut belum pernah diaspal. Apabila jalan ini dapat diteruskan pembangunannya, sesuai rencana semula, para investor pasti akan melirik daerah wisata sepanjang pinggir jalan Danau Toba ini. Karena panoramanya tak kalah indahnya dengan pemandangan Grand Canyon di Amerika. Mereka akan tertarik untuk membangun hotel, motel dan villa-villa sebagai tempat berlibur dan peristirahatan disepanjang jalan tersebut.

Selama kurun waktu 30 tahun terakhir, telah terjadi beberapa kali pergantian Bupati Simalungun. Namun hingga saat ini, jalan tersebut tidak kunjung tembus sampai ke kota Parapat. Malah saat ini sudah kondisi jalan tersebut sudah rusak berat, karena tidak ada perawatan. Di sisi lain, sudah banyak biaya yang dikeluarkan Pemerintah untuk membuka jalan ini. Sekiranya jalan itu sudah tembus ke Parapat, maka potret kepariwisataan dan perekonomian penduduk wilayah itu tidak seperti sekarang ini, bahkan sudah jauh lebih baik.
Saat ini masyarakat kota wisata Haranggaol dan sekitarnya sangat mendambakan pembangunan di daerah ini agar tidak ketinggalan dari daerah lain. Salah satu pendekatan untuk mengejar ketertinggalan itu antara lain adalah melalui pembangunan sarana dan prasarana wilayah itu harus diperbaiki. Sudah saatnya dilakukan peningkatan kualitas infrastruktur jalan raya yang menghubungkan kota Haranggaol ke daerah lain di sekitarnya. Terutama jalan raya masuk ke kota Haranggaol dan dari Haranggaol ke Tigaras melalui Desa Bangunpurba, Sirungkungan, Simanindo, Tambun Raya, arah Timur kota Haranggaol sampai tembus ke kota Parapat perlu mendapat perhatian khusus dari Pemda Simalungun.

Kita semua berkeyakinan apabila pembangunan infrastruktur, sarana lainnya dapat segera direalisasikan oleh Pemda Simalungun, diharapkan kondisi pariwisata dan perekonomian masyarakat Haranggaol dan sekitarnya secara perlahan akan lebih baik dari sekarang. Dengan dilanjutkannya pembangunan jalan tersebut penghubung kota Haranggaol dengan kota Parapat itu, akan memperlancar arus transportasi dari dan ke Haranggaol. Bukan seperti sekarang ini, tidak ada alternatif jalan lain untuk masuk dan keluar kota Haranggaol. Inilah salah satu penyebab kota Haranggaol tertinggal. Dengan lancarnya transportasi di daerah itu, diharapkan kota Haranggaol dan desa di sepanjang jalan raya itu akan mudah diakses, dan mengingat potensi keindahan panorama Danau Toba di sepanjang jalan raya itu diharapkan akan ramai dikunjungi wisatawan dimasa yang akan datang.

Cepat atau lambat, pembangunan infrastruktur dan sarana lainnya akan memberikan dampak positif untuk menjadikan kawasan ini sebagai salah satu tujuan wisata yang potensial seperti sediakala. Pulihnya pariwisata di kawasan ini akan berdampak positif pula terhadap peningkatan perekonomian dan secara perlahan-lahan akan dapat mengentaskan kemiskinan daerah wisata kota Haranggaol sekitarnya. Semoga!!