Menyimak sambutan Ketua Umum Punguan Tondang Boru Pakon Panagolan se-Jabodetabek pada acara Pesta Bona Taon Kemaren bahwa asal kita dari Toba, Saya mencoba mencari Jatidiri saya via Internet yang hasil dituangkan kedalam tulisan wacana dibawah ini.
Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.
Purba (Toba) adalah keturunan Toga Simamora. Toga Simamora mempunyai tiga anak. (kadang ada yang menyebutkan empat). Berikut ini adalah keturunan Toga Simamora: 1. Toga Purba 2. Toga Manalu 3. Toga Debata Raja 4. Tuan Sumerham. Catatan: Yang lazim di Toba hanya disebut tiga. Ada versi yang mengatakan Toga Simamora merantau ke daerah Pakkat dan Barus dan mempunyai keturunan di sana yaitu Tuan Sumerham.
Anaknya Purba (menurut Batak Toba) ada 3 (tiga) yakni :
- Pantomhobol
- Parhorbo
- Sigulang Batu
Pantomhobol anaknya ada 3 (tiga) yakni : no.1 Tuan Didolok, no.2 Pargodung dan no.3 Balige Raja
Parhorbo anaknya ada 3 (tiga) yakni : no.1 Parhoda-hoda, no.2 Marsaha Omas dan no.3 Tuan Manorsa
Sigulang Batu anaknya ada 2 (dua) yakni : no.1 Raja Dilangit no.2 Raja Ursa
Ompung Marsahan Omas (dalam bahasa Indonesia berarti Ber-cawan Emas, karena kebiasaannya minum dari cawan Emas) Keturunan Purba Tanjung berasal dari garis keturunan Ompung Marsahan Omas, Purba Tanjung berasal dari Sipinggan, Simpang Haranggaol, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun. Beberapa sumber menyatakan bahwa "Tanjung" pada marga ini berasal dari lokasi kampung Sipinggan yang merupakan sebuah Tanjung di Danau Toba, arah Haranggaol. Marsahaan Omas memiliki keturunan bernama Bongguran yang memiliki kebiasaan "maranggir" (mandi air jeruk purut) di sekitar kampung Nagori, dengan menggunakan cawan emas.Marsahan Omas memiliki 3 keturunan:
- Tuan Siborna
- Nahoda Raja
- Namora Soaloon
Nahoda Raja memiliki anak bernama Raja Omo yang merupakan Purba Tanjung pertama yang bermukim di Sipinggan.
Tuan Manorsa memiliki 5 Keturunan :
- Ompung Tarain
- Sorta Malela
- Soim Bangun
- Sombu Raja
- Ompung Hinokop
Sejarah mencatat Buku karya A. Purba (Op. Parasian Purba dari Sidikalang) yang mengatakan : Purba Tuan Manorsa menulis dgn jujur bagaimana Tuan Manorsa membunuh istrinya, kabur meninggalkan 3 anak balita, kawin lagi dipelarian, meninggalkan Istri Kedua di Samosir, kawin lagi di Haranggaol. Puluhan tahun anaknya yg di Toba mencari, menapak tilas jejak ayahnya, lalu thn 1930 menemukan akarnya di Perantauan, sejarah mencatat bagaimana isak tangis keturunan yg terpisah ratusan tahun, saling memaafkan kesalahan ayah dan berdoa bersama supaya Tuhan ampuni dosa nenek moyang dan bangkitkan generasi yg takut akan Tuhan.
Tuan Manorsa bukan membunuh istrinya secara langsung, tetapi karena cemburu saat melihat istrinya br Pasaribu sedang mencari kutu paribannya, maka dia memotong payudara istrinya lalu melarikan diri dgn meninggalkan 3 org anak lelaki ( Soimbangon, Sorta Malela, Op Taraim) karena dikejar Raja Pasaribu. Kemudian oppung boru meninggal (mungkin karena infeksi dan hipovolemia/ kurang darah). Dan menetap di Samosir. Kemudian merantau ke Simalungun dan saat pulang ke Samosir menemukan istrinya sdh meninggal. Lalu membawa kedua putranya ke Simalungun dan menikah lagi di Simalungun. kemudian Tuan Manorsa kawin lagi dgn br Tamba dan punya dua anak lelaki (Sombu Raja/Raja Tarbuang & Op Hinokkop),
Ompung Hinokop memiliki 2 Keturunan yakni : Tondang dan Tambun Saribu.
Purba Sigulang Batu anaknya ada 2 (dua) yakni :
1. Partaliganjang(Parlangka Jolo)
2. Guru Sotangguon.
Anaknya Guru Sotangguon ada 2 (dua) yaitu :
1. Somalate
2. Datu Rajim
Anaknya Somalate ada 2 yaitu :
1. Juaro Parultop
2. Datu Parulas
Catatan : Sesuai tarombo, Juaro Parultop dan Datu Parulas merupakan anak kembar (silinduat), makanya kadang Purba yang dari Simalungun yang punya tarombo menuliskannya dengan Datu Parultop/Parulas. Keduanya merupakan orang sakti (datu bolon), mungkin ceritanya agak panjang, tapi dari tarombo yang ada Juaro Parultop memperanakkan : Purba Tambak, Tarigan (di karo), Purba Batu.Datu Parulas memperanakkan : Girsang, Siboro, Purba yang ada di Simalungun.
Purba Pakpak ada si Lima Bapak, yakni : Hinalang, Nagori, Bangun Purba, Purba Tua dan Nagasaribu dan Purba Parhorbo keturunan Manorsa ada yang tinggal di Simalungun. Mereka adalah Purba Tambun Saribu (TAMSAR) dan Purba Tondang. Kuburan Tuan Manorsa juga tetap di Haranggaol , sedang tugunya ada di Simamora Nabolak. Kebanyakan Purba yang di Simalungun hijrah dari Pakpak yakni keturunan Purba Sigulang Batu, dan Tarigan juga berasal dari Purba Sigulangbatu.
Jadi, Submarga Purba terdiri dari banyak sub-marga, antara lain:
1. Girsang
2. Girsang Jabu Bolon
3. Girsang Na Godang
4. Girsang Parhara
5. Girsang Rumah Parik
6. Girsang Bona Gondang
7. Pakpak
8. Raya
9. Siboro
10. Siborom Tanjung
11. Sidasuha
12. Sidadolog
13. Sidagambir
14. Sigumonrong
15. Sihala
16. Silangit
17. Tambak
18. Tambun Saribu
19. Tanjung
20. Tondang
21. Tua dan lain-lain (silahkan ditambah)
Wacana Saya adalah :
Purba Sigulang Batu ini ada yang merantau ke daerah Simalungun dan Karo, maka ada marga Purba Simalungun (contoh: Girsang, Purba Pak-Pak, Purba Sibero, Purba Sigumondrong, dll) dan marga Tarigan (di Karo). Purba Karo beda dengan Purba Toba dan Simalungun, mereka itu masuk Karo-Karo. Yang sama dengan Purba Toba dan Simalungun hanyalah Tarigan.
Mungkin dari sanina marga tarigan atau purba simalungun ada yang bisa jelaskan asal muasal marga Purba dan Tarigan yang ada di simalungun dan karo sekarang. Bila kita coba bandingkan antara marga tarigan dan marga purba di simalungun cabang2nya hampir mirip semua. Contoh : Tarigan Tambak=Purba Tambak; Tarigan Sibero=Purba Siboro; Tarigan Tua=Purba Tua; Tarigan Gerneng=Purba Sigumonrong; Tarigan Silangit=Purba Silangit; Tarigan Tendang=Purba Tondang dll
Ada sosialisasi bahwa Marga Girsang bukan dari Toga Simamora karena Girsang asli dari Lehu Pakpak dan kemudian berafiliasi ke Purba Simalungun agar bisa hidup bahkan menjadi Raja di Silimakuta…(ada ceritanya, baca tentang Pengalihan Kekuasaan dan baca jugaArtikel di Berita Simalungun oleh Pdt. Juandaha Raya Purba dasuha STh dengan Judul "Kalau bukan sama, berarti perkawinan antara marga Purba dengan Girsang bukan hal yg terlarang menurut adat").
Sejarah Tarombo kita jelas, tidak direkayasa, bukti otentiknya masih ada kuburan Raja Purba khususnya Tuan Manorsa di Haranggaol dan di Simamora. itulah sebabnya yg di Toba khususnya masih mengingat baik-baik nomor berapa dia supaya tidak tersesat harus memanggil apa kesaudaranya, jangan sampai manggil anak, padahal oppungnya.
attch 1 :
Tertegun di Kerajaan Purba Simalungun
Posted April 23, 2007
Sampai di mana perkembangan peradaban sebuah komunitas barangkali dapat ditelusuri lewat kebudayaanya. Dan setidaknya hal inilah yang dapat tergambarkan ketika menjelajahi Rumah Bolon di Desa Purba, Kabupaten Simalungun. Ia sekaligus menjadi bukti sejarah eksistensi Kerajaan Purba Simalungun yang sudah berdiri sejak abad ke-15.
Menjelajahi kawasan Simalungun adalah pengalaman tersendiri. Masing-masing bisa memberi kesan tentangnya. Apalagi memasuki Desa Purba, desa kecil di Kecamatan Pematang Purba Kabupaten Simalungun.
Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
Jarakanya kira-kira 140 kilometer dari Kota Medan, setelah melalui Kabupaten Karo (Berastagi – Kabanjahe – Merek). Lalu melewati persimpangan menuju Haranggaol dan tibalah Anda di desa yang mayoritas dihuni etnis Simalungun itu. Tetapi, Anda juga bisa memilih akses lain, yakni dengan melalui Kota Pematang Siantar yang jarakya hanya kira-kira 54 kilometer dari sana.
Konon, dulu Desa Purba dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan kerajaan tertua di Simalungun, yaitu Kerajaan Purba yang hingga akhir kekuasaanya, terhitung ada 14 raja yang pernah memegang tampuk kekuasaannya. Jadi jelaslah bahwa kerajaan ini bukanlah satu-satunya kerajaan yang pernah ada di wilayah Simalungun.
Sejarah mencatat, ada lima kerajaan besar yang masing-masing menguasai wilayahnya sendiri-sendiri yang di antaranya tersebar di beberapa wilayah: Siantar, Panambean, Tanah Jawa, Pematang Raya dan Purba. Wilayah ini kemudian didiami oleh marga-marga tertentu pula, seperti Saragih, Manik, Sinaga dan Purba sendiri.
Rumah Bolon Pematang Purba sendiri merupakan kediaman Raja Purba yang pertama kali diduduki Tuan Pangultop-ultop (1624-1648), yang kemudian diteruskan secara turun-temurun dengan sebuah tradisi budaya setempat. Raja terakhir yang memimpin adalah Raja Tuan Mogang, yang konon jasadnya hingga kini belum ditemukan. Disinyalir ia dibunuh ketika revolusi sosial berlangsung di Simalungun pada tahun 1947.
“Tak diketahui siapa pembunuhnya dan apa pula motifnya,” ujar Wanson. penjaga sekaligus pemandu wisatawan, lokasi bangunan tua yang berdiri di atas lahan seluas 1 hektar itu.
Mengenai tradisi pengalihan kekuasaan, Wanson menjelaskan ada semacam tradisi pengalihan kekuasaan yang wajib dilakukan. Ketika raja hendak mewariskan kekuasaannya, diwajibkan untuk menyembelih seekor kerbau, yang lalu tanduknya disimpan agar kelak menjadi bukti untuk raja yang akan berkuasa kemudian. Setidaknya bukti sejarah itu masih dapat terlihat di mana ada 14 tanduk kerbau yang tergantung di dinding ruangan Rumah Bolon.
Lalu, apa dasar pengalihan kekuasaan itu? Seperti lazimnya dalam tradisi kerajaan yang meneruskan kekuasaan pada anak sulung, maka prinsip itu tidaklah mutlak dalam tradisi Kerajaan Purba. “Bukan harus anak sulung, tetapi siapa keturunan yang bagi raja memiliki talenta untuk menjadi pemimpin, maka ialah yang diangkat sebagai penerus kerajaan,” ujar Wanson.
Politik kekuasaan
Sebenarnya, raja yang mula-mula berkuasa di Kerajaan Purba bukanlah Tuan Pangultop-ultop, melainkan Raja Purba Dasuha. Tuan Pangultop-ultop sendiri pada awalnya hanyalah pendatang yang datang dari wilayah Dolok Sanggul yang konon disinyalir berdekatan dengan wilayah Pakpak Bharat sekarang.
Lantas, mengapa ia kemudian menjadi raja? Ini masih berdasarkan penuturan Wanson Purba, yang juga merupakan pegawai dinas pariwisata Kabupaten Simalungun yang dihunjuk untuk mengawasi bangunan tua itu. Ia menjelaskan, kedatangan Tuan Pangultop-ultop ke wilayah Purba awalnya dikarenakan kegemarannya menangkap burung yang kemudian mengantarkannya ke kawasan Purba.
Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan.
Konon, suatu ketika di wilayah hutan belantara Purba, ia berhasil menangkap seekor burung Nanggordaha yang kemudian dari tembolok burung itu (terdapat biji padi dan jagung), ia mendapatkan makanannya sendiri. Ketika ia melihat bahwa Purba adalah negeri yang subur, maka ia pun memohon kepada Raja Purba Dasuha untuk diberikan sebidang tanah. Tanah itu kelak ia tanami dengan biji padi dan jagung yang ia dapat dari tembolok burung itu.
Ini jugalah yang menghantarkan Pangultop-ultop kepada kejayaan. Hasil panen yang melimpah dari sebidang tanah atas kebaikan raja itu, ia simpan di sebuah lumbung besar.
Suatu waktu muncullah masa paceklik yang mengakibatkan penduduk kewalahan mencari makanan. Mengetahui Pangultop-ultop memiliki banyak menyimpan padi dan jagung di lumbungnya, mereka pun lalu memintanya agar memberikan padi dan jagung yang selama itu ia kumpulkan.
Hanya saja, ia tak mau memberi jika mereka hanya memanggilnya dengan sebutan “oppung” (kakek atau orang yang dihormati), melainkan panggilan raja. “Jangan panggil aku oppung jika ingin mendapatkan padi dan jagung dari saya, tapi panggillah saya raja,” katanya.
Mereka pun memanggilnya demikian, yang lantas diketahui oleh Purba Dasuha. Merasa pengakuan terhadap dirinya terancam tidak diakui lagi, maka Purba Dasuha pun mengadakan pertemuan dengan Pangultop-ultop. “Jika kamu memang raja, maka buktikanlah,” katanya, seperti yang ditirukan Wanson.
Hal ini kemudian dituruti Pangultop-ultop dengan mematuhi peraturan yang ditetapkan Purba Dasuha. “Marbijah” (disumpahi) adalah prosesi yang menjadi langkah pembuktian itu. Segenggam tanah, air dan “appang-appang” (kulit kerbau) adalah medianya. Maka, Pangultop-ultop kembali ke tanah asalnya untuk mendapatkan ketiganya.
Segenggam tanah lalu ditabur, dilapisi appang-appang dan di sampingnya ditaruh air yang tertuang dalam tatabu (sejenis tempayan air yang terbuat dari kulit labu). Disaksikan oleh rakyat, lalu Pangultop-ultop bersumpah di hadapan Purba Dasuha dan para ulubalang, katanya, “jika tanah dan air yang aku duduki ini bukanlah milikku, maka sekarang juga aku matilah.” Pangultop-ultop pun kemudian meminun air itu.
Waktulah yang kemudian menjawab sumpah itu. Meski sudah melewati hari, minggu, bulan hingga tahun, namun Pangultop-ultop tidak mati—seperti lazimnya sebuah sumpah yang mengandung kebohongan maka maut adalah imbalannya. Dan waktu jugalah yang menentukan peralihan kekuasaan itu. “Kuakui, sekarang kamulah raja yang pantas memimpin Kerajaan Purba, sebab sumpahmu tak berbala,” kata Purba Dasuha kemudian.
Sejak saat itu Pangultop-ultop resmi diangkat menjadi raja, tepatnya pada 1624, yang lalu memimpin hingga 1648. Sedang raja terdahulu—Purba Dasuha—masih dianggap sebagai raja, hanya saja ia tidak lagi memerintah.
Lalu setelah membalik kembali kisah itu, benarkah ada unsur politis di sana? Sekali lagi ini adalah pengungkapan fakta dari seorang Wanson Purba, yang juga merupakan keturunan Raja Kuraha (panglima raja) Tuan Pangultop-ultop semasa kepemimpinannya. Ia sendiri mengetahui kisah itu dari ayahnya, P Purba yang selama 43 tahun telah menjaga Rumah Bolon.
Wanson pun tak menepis hal itu. “Sebenarnya jika ditelaah, Pangultop-ultop dengan demikian sudah mempraktekkan politik kekuasaan,” katanya. “Pasalnya, tanah dan air serta appang-appang yang digunakan sebagai media sumpah dibawa sendiri olehnya dari tanah asalnya, sehingga memungkinkan ia selamat dari maut.”
Tonggo Simangunsong
attch 2 :
"Kalau bukan sama, berarti perkawinan antara marga Purba dengan Girsang bukan hal yang terlarang menurut adat...!"
Oleh : Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha, STh
Pengantar Asisten Residen Simalungun dalam karya klasiknya, Simeloengoen menulis bahwa pada dasarnya di Simalungun sejak zaman dahulu kala hanya ada empat marga di Simalungun, yakni marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (Sisadapur). Dan memang dari karya-karya klasik penulis-penulis Belanda, baik Tideman maupun Tichelman sebagai pejabat kolonial Belanda selalu menulis Purba Girsang. Yang kita pertanyakan, sejak kapan penulisan dengan "Girsang" tanpa "Purba" itu dimulai?
Asumsi saya berdasarkan perbincangan dengan tokoh-tokoh Simalungun dan para orangtua Simalungun, penulisan marga Girsang tanpa Purba itu masih baru, belum sampai seratus tahun. Pada waktu penulis bertugas di Sekretariat J-100 di Jakarta dalam rangka penulisan sejarah GKPS tahun 2003 kemarin, penulis berbincang-bincang dengan salah seorang tokoh marga Girsang yang dengan marahnya menolak ucapan saya yang mengatakan Girsang itu merupakan sub sib atau cabang dari marga Purba. Beliau dengan marahnya mengatakan, "Girsang adalah Girsang bukan Purba, kami marga Girsang bukan masuk cabang marga Purba tetapi masuk ke cabang marga Sihombing Lumbantoruan."
Dan memang Bapak Brigjend TNI (Purn) Djorali Purba Dasuha sebagai Ketua Umum Harungguan Purba se-Jabotabek menginformasikan kepada penulis bahwa dari 24 cabang marga Purba Simalungun yang mengaku berasal dari Simalungun, marga Girsang akhirnya keluar dari perkumpulan marga Purba Simalungun tersebut karena ngotot tidak mengakui Girsang bercabang dari induk marga Purba Simalungun.
Berangkat dari persoalan di atas, timbul pertanyaan di kalangan kaum muda - kalau benar marga Girsang bukan masuk Purba, berarti marga "Girsang" itu tidak sama dengan Purba, dan karena menurut mereka, Girsang berketurunan dari marga Sihombing Lumbantoruan berarti Girsang merupakan cabang dari marga etnis Batak Toba. Dan jika memang benar bukan cabang dari marga Purba mengingat Hukum Adat Perkawinan Simalungun hanya melarang perkawinan "nasamorga" berarti, karena Girsang dan Purba merupakan dua marga yang berbeda, maka tidak ada larangan lagi menurut adat yang menghalangi perkawianan antara marga Girsang dengan marga Purba, karena yang dilarang menurut adat perkawinan Simalungun adalah kawin semarga karena dianggap masih satu keturunan dari nenek moyang yang sama.
Polemik asal marga Girsang Tideman dalam karya, Simelongoen menuliskan, bahwa Si Girsang yang merupakan leluhur dari raja Silimakuta yang menggantikan mertuanya tuan Nagasaribu bermarga Sinaga berasal dari Lehu Sidikalang Pakpak Dairi. Dari silsilah raja Silimakuta diperkirakan ketibaan Girsang di Naga Mariah diperhitungkan sekiar pertengahan abad XVIII.
Sedang pengangkatan Naga Saribu menjadi kerajaan barulah sejak tahun 1907 dengan nama Kerajaan Silimakuta. Di sini saya kutip uraian Tideman dalam bukunya Simelongoen tentang asal-usul raja Silimakuta : "Raja yang pertama berasal dari Lehu (Sidikalang Pakpak Dairi) bernama Si Girsang. Ketika ia berburu sampailah ia ke Tanduk Banua (Sipiso- piso). Di sana tiba-tiba dijumpainya Horbo Jagat (kerbau bulai) dan menyangka di sekitarnya ada kampung. Ia lalu memanjat pohon tinggi dan melihat vada kampung besar merga Sinaga bernama Naga Mariah. Ia pergi ke sana dan tinggal di situ. Pada suatu ketika Tuhan Naga Mariah. Ia pergi ke sana dan tinggal di situ. Pada suatu ketika, Tuhan Naga Mariah terancam musuh dari Siantar yang sedang berkemah di Paya Siantar dekat kaki Gunung Singgalang. Tuhan Naga Mariah mengharapkan bantuan dari Si Girsang mengusir musuh.
Si Girsang menyuruh penduduk mengumpulkan sebanyak mungkin bermacam- macam duri dan diambilnya cendawan merah, diperasnya dalam air, racunnya diletakkannya pada duri-duri dan diletakkan di sepanjang jalan yang bakal dilalui musuh., sedangkan air yang beracun itu dimasukkannya ke dalam Paya Siantar. Musuh oleh karena itu semuanya mati kena racun. Ia melapor kepada Tuhan Naga Mariah dan berkata, "Nunga mate marsinggalang saribu di dolok i!" (beribu-ribu musuh sudah mati bergelimpangan di gunung itu), sehingga gunung itu dinamakan Dolok Singgalang dan namanya Saribu Dolok.
Si Girsang lalu kawin dengan puteri dari Tuhan Naga Mariah dan karena ahli mencampur racun dinamai Datu Parulas. Setelah raja itu mati maka Datu Parulas ini naik tahta dan mendirikan kampungnya Naga Saribu yang menjadi ibukota. Kerajaannya dinamainya Si Lima Kuta karena dalam kerajaannya ada lima kampung yaitu: Rakutbesi, Dolok Panribuan, Saribu Djandi, Mardingding dan Nagamariah. Setiap puteranya menjadi tuhan di Rakutbesi, Dolok Panribuan, Saribu Djandi, Mardingding dan Naga Mariah. Kemudian lahir lagi dua putera, yang tertua mendirikan kampung Janji Malasang dan mendirikan kerajaan kecil benama Bage. Yang bungsu menggantikan Datu Parulas. Baru di tahun 1903 Kerajaan Bage tunduk di bawah Kerajaan Silimakuta."
Bagaimana dengan Purba Girsang di Dolog Batu Nanggar?
Dari tulisan Tideman tersebut dapat dismpulkan, bahwa Si Girsang tidak diketahu bermarga apa, yang jelas, namanya Si Girsang. Jadi kalau ada kalangan marga Girsang yang mengatakan Girsang bukan cabang dari marga Purba, ini dapat diterima, karena itu adalah hak yang bersangkutan. Namun yang perlu dipertanyakan lagi, menurut Tideman - tentunya ia mencatat informasi dari kalangan raja Silima Kuta - asal dari pemburu Si Girsang dari Lehu di dekat Sidikalang (afkomstig Lehu Pakpak Dairi).
Di sana Tideman menulis "afkomstig" = berasal dari, jadi belum tentu "berketurunan" dari penduduk asli Lehu yang Etnis Pakpak, boleh jadi ia hanya singgah di sana dan seterusnya mengembara ke Simalungun. St. Djaidin Girsang dalam tulisannya tentang "Kisah Si Girsang Parultop- ultop Jadi Raja Silimakuta" (Medan, 1995:123-124) menulis (terjemahan bahasa Simalungun dialek Silimakuta), "Konon menurut cerita turun temurun, kelahiran Si Girsang ditengarai msalah di kalangan orang ramai, ini disebabkan kelahiran Si Girsang yang tidak lazim (marbalutan) tidak seperti biasanya.
Tanggapan khalayak simpang siur dan masing-masing membuat tanggapannya sendiri, ada yang mengatakan "anak panunda" bayi yang baru lahir ini, ada yang mengatakan anak keramat, ada yang mengatakan anak sial dan lain-lain. Demikianlah tanggapan banyak orang, dan ada lagi yang mengatakan, "tidak patut anak ini dibiarkan hidup....; jadi timbullah usul orang ramai agar bayi tersebut dibunuh agar jangan mendatangkan kesialan pada seisi kampung. Ibu Si Girsang adalah perempuan dari Lottung Sinaga, ia sangat masygul melahirkan Si Girsang, jadi disembunyikanlah Si Girsang di luar kampung agar dapat dipantau ibunya siang dan malam, tidak tega hatinya membiarkan anaknya dibunuh...setelah itu dinamailah ia Si Girsang mengingat penderitaannya itu."
Dari beberapa sumber di atas disimpulkan, bahwa bayi yang disembunyikan oleh ibunya itu berasal dari keluarga biasa (rakyat kebanyakan) karena disebut sebagai "penghuni kampung" (berbeda dengan leluhur raja-raja Simalungun yang seluruhnya berasal dari kalangan bangsawan); uraian Djaidin Girsang juga tidak menyebut Si Girsang berketurunan dari kalangan raja. Biasanya panglima-panglima perang (raja goraha) raja Nagur (kerajaan tertua di Sumatera Timur) yang kemudian menjadi raja di Simalungun adalah kawin dengan panakboru (puteri raja) dari raja Nagur bermarga Damanik, seperti raja Tanoh Djawa (Sinaga), Silou (Purba Tambak), Panei (Purba Dasuha), tetapi Si Girsang tidak demikian. Setelah dewasa menurut uraian St. Djaidin Girsang ia kawin dengan puteri Tuhan Naga Mariah bermarga Sinaga yang kemudian "terusir" dari Naga Mariah dan sebagian keturunannya pindah ke Karo (Batu Karang) dan Girsang Sipangan Bolon Parapat. Ini membuktikan kenyataan sejarah kalau Si Girsang adalah pendatang dari luar Simalungun - dan bukan rakyat Nagur pada mulanya. Kerajaan Nagur dengan daerah vasalnya Kerajaan Dolog Silou masih berkuasa atas Purba, Raya dan Nagasaribu, karena status ketiganya adalah "partuanan banggal" Kerajaan Dolog Silou sebelum ditingkatkan menjadi "landschap" pada zaman Belanda sejak 1907 (Korte Verklaring).
Jadi kalau dirunut dari jalan sejarah di atas, keberadaan marga Girsang di Silimahuta (kecuali di partuanan Dolog Batu Nanggar-Panei) Simalungun masih baru; sekitar pertengahan abad XVIII. Dan jika dilihat dari penolakan marga Girsang yang tidak mengakui Girsang merupakan cabang marga Purba (khususnya yang berasal dari Silimakuta), cukup menegaskan kenyataan sejarah kalau Si Girsang yang menurunkan marga Girsang di Silimakuta baru sejak zaman Belanda atau tepatnya pada tahun 1907 berstatus kerajaan di Silimakuta dan bukan seketurunan dengan marga Purba Tambak yang menurunkan raja-raja Silou, Panei dan Dolog Batu Nanggar (Purba Tambak, Purba Sigumonrong, Purba Sidasuha, Purba Sidadolog, Purba Sidagambir, Purba Siboro, Purba Tanjung dan Purba Girsang).
Yang membingungkan lagi dalam Pusataha Parpandanan Na Bolag yang menceritakan sejarah perpecahan Kerajaan Nagur di abad XIV, ada disebut-sebut nama tokoh Si Girsang Doriangin. Demikian pula di sejarah Kerajaan Dolog Silou ada disebut Si Juhar marga Purba Girsang yang menurunkan marga Purba Girsang keturunan Tuan Badja Purba Girsang tuan Dolog Batu Nanggar (Saribulawan). Mengingat marga Girsang di Nagamariah baru ada di pertengahan abad XVIII sedangkan marga Purba Girsang di Dolog Batu Nanggar sudah ada setidaknya di abad XV yang hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Dolog Silou; apakah tidak tertutup kemungkinannya jika Si Girsang yang berangkat dari Lehu menuju Nagamariah adalah cucu buyut dari Tuan Partanja Batu Purba Girsang dari Dolog Batu Nanggar sebagaimana uraian TBA Purba Tambak dalam bukunya Sejarah Simalungun ? Atau alternatif kedua, Si Girsang merupakan "pendatang baru" yang bukan kerketurunan dari Tuan Dolog Batu Nanggar?
Dugaan penulis makin kuat karena pada saat penulis bertugas di GKPS Resort Sumbul, dalam suatu kesempatan hal ini pernah penulis tanyakan kepada serang pengetua adat Pakpak (pertaki) bermarga Solin, pada saat mana sedang gencar-gencarnya pembangunan Tugu Girsang di Lehu. Beliau menjelaskan kepada penulis, bahwa sepengetahuannya, Girsang itu bukan marga Etnis Pakpak, dan tanah lokasi pembangunan tugu itu sendiri bukan tanah adat marga Pakpak, tetapi tanah adat marga Batanghari dari etnis Pakpak yang dibeli oleh marga Girsang dari Saribudolok.
Jadi Girsang bukan "marsanina" dengan Purba?
Meminjam ungkapan budayawan Simalungun Pak Mansen Purba, SH dalam bukunya "Pangarusion pasal Adat Perkawinan Simalungun" yang mengatakan, "seng dong hinan batta Simalungun, parsaninaon halani nasamorga, tapi halani na sahasusuran do. Age pe dos morga, lape tottu ai na sahasusuran. Aima ase dong panggoranion i pudini morga in, tanda ni na sada hasusuran ope." Jelasnya menurut beliau, di Simalungun "marsanina" bukan karena "satu marga" atau dari marga yang sama, tetapi dilihat dari sejarah asal-usulnya. Kalau dari seketurunan nenek moyang yang sama, maka disebut "marsanina" kalau sebaliknya, biar marganya sama, kalau masing-masing tidak mengakui nenek maoyangnya seketurunan, maka jelas bukan "marsanina". Jadi berdasarkan rumusan ini, maka di antara marga Purba yang dapat disebut 'marsanina" adalah keturunan dari raja-raja Silou dan Panei dengan partuanan- partuanannya, seperti Purba Tambak (raja Dolog Silou), Purba Sigumonrong (Tuan Lokkung), Sidasuha (raja Panei), Sidadolog (Tuan Sinaman), Sidagambir (Tuan Raja i Huta), Tanjung (Tuan Tanjung Purba), Siboro (Tuan Siboro) dan Girsang (Tuan Dolog Batu Nanggar). Karena seluruh cabang marga Purba ini menurut Pustaha Bandar Hanopan berasal dari nenek moyang yang sama Tuan Djigou Purba dari Tambak Bawang yang datang dari Gayo (Aceh) atau dari Pagarruyung. Dan kalau raja Silimakuta yang merupakan keturunan dari Si Girsang dari Lehu itu di pertengahan abad ke-18 masuk ke Naga Mariah mengaku bukan bercabang dari marga Purba, kalau demikian ia bukanlah suku Simalungun, karena sejak zaman dahulu suku Simalungun terdiri dari empat cabang marga saja, yakni Sinaga Saragih, Damanik dan Purba.
Dan memang baik Tuan Dolog Batu Nanggar bermarga Purba Girsang dan saninanya raja Panei bermarga Purba Dasuha masing-masing mengambil permaisuri dari puteri raja Siantar bermarga Damanik, sementara kita lihat di Silimakuta permaisuri Silimakuta bukan dari Siantar, tetapi dari Tongging bermarga Munthe. Ini merupakan suatu fakta yang patut dipertimbangkan dalam memutuskan apakah memang Purba Girsang di Silimakuta dan Dolog Batu Nanggar itu dari keturunan nenek moyang yang samakah atau berbeda?
Penutup Penulis memang sadar kalau tulisan ini akan menimbulkan kontroversial di kalangan etnis Simalungun, khususya di kalangan marga Girsang dan Purba Simalungun. Tetapi mengingat falsafah etnik Simalungun "Habonaron do Bona" ini layak untuk dituntaskan oleh pengetua adat Simalungun. Jangan sampai akibat pengakuan marga Girsang ini menyebabkan kegalauan di kalangan generasi muda Simalungun. Dan kalau memang Girsang tetap ngotot tidak mengakui dirinya bercabang dari marga induk Purba Simalungun, agar kelar dan tidak menimbulkan kesimpang siuran di tengah-tengah masyarakat, alangkah bijaknya, apabila hal ini dibahas dengan melibatkan para sejarawan, apakah benar "Girsang bukan cabang dari marga Purba?" Kalau memang benar, sepantasnyalah diumumkan dan disosialisasikan kepada masyarakat luas, sehingga perkawinan antara marga Purba dengan Girsang bukan lagi sesuatu hal yang terlarang menurut adat Simalungun. Karena yang dilarang menurut adat adalah "mardawan begu" atau saling kawin mawin dengan pasangan yang semarga. Sehingga kedudukan marga Girsang di Simalungun jelas, dan para kaum muda yang ingin mencari pasangan hidupnya juga tidak ragu-ragu. Semoga bermanfaat.
Penulis adalah seorang pendeta GKPS bermarga Purba tinggal di Tepian Danau Toba Tongging-Taneh Karo Simalem
4 comments:
Kalo sanina melihat dari sudut Toba maka selalu mengarah ke Toga Simamora...sampai Girsang pun diklaim keturunan dari Toga Sihombing..cobalah sanina memandang marga Tondang dari sudut Simalungun...
Salam kenal buat semua sanina marga Tondang dan botou boru Tondang
Diatei tupa ma
Apakah sihombing semarga dengan purba?
Bisakah marga purba menikah dengan br sinaga ?? Mohon jawaban nnya kaka
Tentu bisa
Post a Comment